free html visitor counters

06 March 2009

PERJALANAN PULANG KAMPUNG







Liburan akhir semester, saya bersama Erika, lengkapnya Erika Sulistia Maidaningsih,. Saya lebih senang memanggilnya dengan Rika saja. Dia adalah salah satu sahabat baik saya. Kami satu kelas, yakni di jurusan Dakwah Prodi BPI, STAIN Pontianak. Erika berasal dari Kapuas Hulu, tepatnya di Nanga Silat. Liburan semester kali ini, dia memilih tidak pulang kampung, karena ingin ikut ke kampung halaman saya di kecamatan Tebas. ”Pengen ngerasa metik jeruk langsung dari pohonnya” katanya memberi alasan. Rencananya, kami akan berangkat pukul 02.00 pagi, agak kepagian memang, tapi perjalannya nanti akan lebih ringan, karena bisa tidur puas di dalam bis.


Biasanya, jika berangkatnya siang, di jalan akan lebih berat, selain panas juga berdebu, dan hal itu bisa menyebabkan mabok di jalan. Bicara soal mabok, saya jadi ingat dengan salah satu sahabat saya yang lain, dia paling tidak tahan naik bis umum, karena tiap kali pulang kampung, dia pasti mabok. Sebenarnya liburan ini, dia juga berencana ikut, tapi akhirnya batal, karena ”takut” naik bis. Saya sebenarnya kasian dengan kondisinya yang seperti itu, pasti sangat berat. Tapi saya senang sekali menganggunya.

Sejak jam 01.30, kami sudah bersiap-siap, selain takut ketinggalan bis, selain itu juga kami tidak ingin membuat penumpang yang lain menunggu lama, karena saya tahu, banyak orang, termasuk saya sendiri paling benci dengan yang namanya menunggu, jadi daripada nanti kami tergesa-gesa, lebih baik kami bersiap lebih awal.

Sebelumnya, kami memang sudah memesan kursi terlebih dahulu melalui telpon, supaya nanti tidak repot lagi menunggu bis di tepi jalan, yang kadang juga sudah sesak, apalagi besoknya ada acara Cap Go Meh di Singkawang, jadi sudah bisa dipastikan bis-bis umum banyak yang penuh.

Sopir bis yang kami pesan mengatakan, jika mereka sudah berangkat, maka merekalah yang akan menghubungi kami lewat telfon. Namun, setelah jam 02.10, mereka tak jua kunjung menghubungi kami, Along (panggilan untuk anak pertama dalam bahasa Melayu) berinisiatif untuk menghubungi mereka.
Saya perhatikan ekspresi wajah abang tertua saya tersebut, dia nampak sangat bersemangat, bahkan semalaman itu, dia sama sekali belum tidur, takut tidak terbangun, karena jika sudah tidur, maka dia sangat susah terbangun.

”Ape pak De, bis pak De ndak jalan pagi ne?”
”O gitu.... ya udahlah, boleh minta nomor hape sopir atau kernetnye pak De? O... iya, makasih ya pak De.. Assalamualaikum.”

Begitulah sekilas pembicaraan antara Along dengan sopir bis yang dipanggil dengan panggilan pak De tersebut. Dari pembicaraan tadi, saya bisa menangkap, bahwa bis yang kami pesan ternyata tidak beroperasi pagi ini, entah apa penyebabnya, jadi kami dialihkan ke bis yang lain.

Saya jadi terfikir, ini salah satu bukti ketidakprofesionalan mereka, masa’ si, mereka mengalihkan kami ke bis yang lain tanpa konfirmasi terlebih dahulu. Syukur tadi Along nelfon, jika tidak.... tapi ya udahlah, saya fikir juga tidak ada bedanyalah, yang penting kan kami kebagian kursi.

Tak lama, terdengar Along juga menghubungi nomor yang diberikan oleh pak De, dan mereka menginfomasikan bahwa saat itu, mereka masih di Sei Raya, dan sedang menjemput penumpang yang lain.

Bis-bis yang menuju ke Sambas memang tidak memberlakukan sistem tiket, sebagaimana bis umum yang menuju ke daerah lainnya seperti ke Entikong, Sintang, Kapuas Hulu dan lain-lain, biasanya penumpang hanya tinggal menunggu di tepi jalan saja. Cara tersebut memang lebih praktis, tapi kelemahannya jika bis yang ditunggu sudah penuh, maka penumpang tidak punya pilihan lain, duduk di bangku serap atau bahkan berdiri, jika tidak ingin menunggu kadatangan bis selanjutnya. Namun, ada beberapa bis juga memberlakukan sistem pesan kursi. Biasanya jika penumpang yang sudah memesan kursi, maka bis yang bersangkutan akan menjemputnya.

Jam 03.10, kernet bis kedua, akhirnya menelefon, mereka bilang, sudah berada di depan jalan Ya M Sabran, jalan menuju nrumah saya. Kamipun segera turun dan menunggu di tepi jalan. Dua menit berikutnya, bis yang kami tunggu-tunggupun datang. Dari luar saya lihat, bis tersebut tampak penuh oleh penumpang. Sebelumnya saya sudah mewanti-wanti Along, seandainya kami diberikan kursi yang letaknya terpisah, maka along harus ngotot minta ditukar. Karena saya fikir, jika kami berdua dipisahkan duduknya dalam perjalanan, tidak seru, apalagi Erika kan baru pertama kali ke Sambas, jadi banyak tempat yang akan saya kabarkan ke dia.

Akan tetapi, kenyataan yang kami terima setelah kami naik bis yang sudah agak tua tersebut, tidak lebih baik dari yang saya bayangkan. Kami ternyata disisakan bangku serap_ kursi yang letaknya di antara kursi yang lain, dan tanpa sandaran. Saya tak sempat memperhatikan ekspresi Along, tapi saya yakin dia sangat kecewa dengan keadaan seperti itu. Saya terfokus pada kursi ”empuk” yang sudah dipersiapkan untuk kami duduki selama kurang lebih 5 sampai 6 jam ke depan.

Akhirnya karena tidak ada pilihan lain, dengan pasrah, kamipun duduk di situ. Sekilas saya melirik ke arah Erika, sekilas saya lihat mimik wajahnya terlihat kecewa, walaupun dia berusaha menyembunyikannya, tapi saya bisa menangkap itu.

Saya benar-benar kecewa dengan kondisi seperti ini, kekecewaan tersebut menumpuk, pertama karena kami dialihkan ke bis yang kedua ini tanpa dikonfirmasi terlebih dahulu, terus, kami dibiarkan menunggu satu jam lebih hanya untuk duduk di kursi serap. Perasaan kecewa tersebut bercampur dengan perasaan tidak enak hati pada Erika, pengalaman pertamanya ke Sambas, harus mengalami kondisi yang tidak mengenakkan. Kasian dia. Dengan keadaan yang seperti ini, mana bisa dia istirahat, apalagi malamnya, kami memang tidak tidak tidur tenang, kami sedikit lembur, sebab harus menyelesaikan tugas mendadak, yang diberikan oleh salah satu dosen kami, dan harus diberikan pada beliau pagi hari itu juga.
Terlintas dalam benak saya, syukur saya dan Erika berasal dari negara yang sama, seandainya dia berasal dari luar negeri, pasti hal ini akan menjadi salah satu kesan buruk yang akan ia ingat tentang negara Indonesia ini, yakni tentang ketidakprofesionalan dan budaya jam karet orang-orangnya.

Saya mengeluarkan hape dari tas, ternyata ada 6 kali panggilan tak terjawab dan satu SMS dari Along.
”Masih duduk di kursi serap ke Sa? Bile perlu, minta turun jak sekarang di t4 yang terang dan ramai, drpd kalian ndak dpt istrht. BIS INI TAK JUJUR NIH... kecewa along!” Sender AlongQ. +628524597**** dikirim 08 Feb 2009, 03:57:58.

Begitulah bunyi SMS Along. Tersenyum saya membaca SMS tersebut. Ternyata dugaan saya benar, Along adalah orang yang paling kecewa dengan kondisi ini. Lalu saya balas, dan mengatakan bahwa kami masih duduk di situ, tapi kami akan mencoba menikmati perjalanan ini. Saya memang sengaja berkata seperti itu, supaya along tidak semakin merasa bersalah, karena walau bagaimana sekalipun, dia sudah berusaha, dan saya harus bisa menghargai itu. Apalagi, jika untuk untuk turun di tengah jalan subuh-subuh, saya tidak berani mengambil risiko, dan lagian belum tentu juga kami bisa mendapatkan yang lebih baik dari sekarang, takutnya malah nanti lebih buruk, karena kami tidak bisa mensyukuri yang sedikit ini.

Belakangan saya tahu, ternyata selain SMS pada saya, Along juga menghubungi kernet bis, bahkan pak De pun, menjadi lampiasan kekecewaan Along terhadap kerja mereka. Bahkan katanya, Along mengatakan, bahwa ini adalah kali terakhir kami naik bis pertama dan kedua ini. Saya baru ngeh, pantesan, saya lihat beberapa kali kernet bis tersebut melirik ke arah kami dengan pandangan yang gimana gitu......

Saya benar-benar berusah menikmati keadaan waktu itu. Daru saku rok, saya mengeluarkan MP3, lalu mendengar musik dari sebuah kotak yang berukuran mini tersebut.

Pukul 05.58, bis kami berhenti di Singkawang, saya dan Erika buru-buru turun dan menuju toilet dan berwudhu di sana, lalu shalat shubuh di mushalla yang disediakan di sana. Agak telat memang, tapi msu bagaimana lagi, situasi tidak memungkinkan untuk kami shalat di dalam bis.

Usai shalat kami kembali ke bis. Ambil foto. Saya bilang ke Erika, bahwa tempat kami berhenti sekarang ini adalah Pasir Panjang_yakni tempat rekreasi yang lumayan digemari oleh masyarakat sini. Iseng saya menggoda dia, ”Gimana klo kita ke Pasir Panjang aja... kite tinggalkan jak bis ini, kite kabur yuk” Erika hanya tertawa mendengar itu.
Tak lama, kernet bis menghampiri kami. Dengan wajah yang terlihat sangat menyesal, dia mengatakan permintaan maaf. Lalu mengungkapkan penyebab dari semua kejadian ini. Ternyata bis pak De tidak beroperasi karena istrinya lagi melahirkan. Saat pak De mengatakan bahwa ada yang pesan kursi, dia tidak mengatakan bahwa yang pesan kursi adalah perempuan. ”Kirain laki-laki, kalau kame’ tau perempuan yang pesan, pasti kami kasih kursi be... ”. Katanya. Kami hanya tersenyum mendengar penuturan laki-laki setengah baya tersebut. Dari tampilan fisiknya, saya bisa memastikan bahwa ia seorang Tionghoa, apalagi logatnya juga tak bisa disembunyikan. Dalam hati saya berkata ”Emang apa bedanya, laki-laki atau perempuan, kan sama-sama penumpang, yang haknya tidak boleh diabaikan. Walau omongannya tadi tidak bisa mengubah apa-apa, tapi saya sangat menghargai itikad dia untuk meminta maaf pada kami. Karena untuk saat ini, orang yang mau meminta maaf setelah berbuat salah, sangat susah ditemukan.



Comments :

0 comments to “PERJALANAN PULANG KAMPUNG”