free html visitor counters

10 March 2009

SOK TAHU





Hari Minggu, kami, peserta Pelatihan Menulis Kisah Perjalanan, yang diadakan Malay Corner STAIN Pontianak, berangkat ke desa Durian. Berjarak kurang lebih 20 KM dari kota Pontianak. Untuk sampai di lokasi, bisa ditempuh menggunakan sepeda motor, kira-kira 30-45 menit. Desa tersebut masuk wilayah kabupaten Kubu Raya.
Sejak seminggu sebelumnya, kami memang merencanakan untuk turun ke lapangan. Menuliskan perjalanan kami tersebut dalam bentuk cerita. Lalu hasilnya akan kami diskusikan pada pertemuan berikutnya.

Sebelum memutuskan untuk berangkat ke desa Durian ini, sebenarnya panitia menawarkan berangkat ke desa Punggur. Namun belakangan P3M STAIN Pontianak yang diketuai oleh pak Yapandi Ramli, mengusulkan untuk berangkat ke desa Durian saja. Desa tersebut ditinggali oleh mayoritas suku Madura. Dan ada sebagian merupakan korban kerusuhan antar etnis, yang terjadi di kabupaten Sambas tahun 1999 silam. Selain itu, desa tersebut merupakan desa binaan STAIN Pontianak.

”Kita berangkat nanti sore, jam empat tepat. Harus jam empat” terang pak Yusriadi, mengingatkan kami semua.
Pak Yus, begitu ia biasa disapa, adalah ketua panitia. Beliau memang sangat disiplin dengan yang namanya waktu. Beliau mengampu beberapa mata kuliah di jurusan Dakwah dan Syariah. Jika ada mahasiswa yang datang terlambat, apalagi jika tidak bisa memberikan penjelasan yang meyakinkan beliau, maka jangan harap mahasiswa tersebut bisa mengikuti mata kuliah hari itu. Agak keras memang.

”Nanti tiap orang akan mengumpulkan data sesuai dengan bidang pendidikan mereka masing-masing”. kata pak Yus lagi, menjelaskan.

”Rika berarti nanti kite tadak satu kelompok lah ni... tapi bahan kite kan same, bise gak kite tukar-tukar nanti”. Ujar saya yang diiringi anggukan oleh Erika, yang duduk di samping kanan saya. Erika merupakan salah satu sahabat baik saya. Di kampus, kami berada di kelas yang sama, dan sama-sama aktif di LPM STAIN dan HMJ Dakwah. Salah seorang teman di kampus pernah berkomentar begini:
”Erika ma Icha memang tidak bisa dipisahkan. Di mana ada Icha, pasti di situ ada Erika. Begitu juga sebaliknya”.
Entahlah mengapa komentar seperti itu bisa keluar. Padahal kenyataan yang terjadi tidak benar sepenuhnya. Buktinya, dalam organisasi ekstra kampus, kami berbeda. Erika aktif di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), sedangkan saya di PII (Pelajar Islam Indonesia). Tuuh... beda khan???

Balik ke kegiatan pelatihan.
Di desa Durian nanti, kami dibagi ke dalam empat kelompok, tiap kelompok berjumlah 6 orang. Saya masuk dalam kelompok dua, menururt panitia, kami akan menginap di rumah pak Satim. Kelompok kami terdiri dari pak Ismail Ruslan, yang akan menulis tentang perekonomian masyarakat di sana, Hisbul Maududi, Martina dan Didi darmadi, tentang Linguistik, Indasah tentang pendidikan, dan saya tentang Keagamaan dan Psikologi.

”Kak, tak biselah Dedek minta sabun neh, ternyata kite tak satu kelompok” ujar Isminarti.
Isminarti adalah mahasiswa Tarbiyah, Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI), semester VI, di STAIN Pontianak. Kami terbilang cukup akrab, bahkan sudah seperti saudara. Dulu, sebelum saya pindah, kami tinggal satu kost-kostan, di jalan Veteran.
Mendengar perkataan Ismi, saya hanya tersenyum. Sehari sebelumnya, kami berdua sempat belanja bersama, mencari barang-barang keperluan untuk berangkat ke desa Durian. Saya sempat menyarankan padanya untuk membawa sabun cair saja, agar lebih praktis.

”Minta ma kakak aja deh, itu jauh lebih praktis”. Guraunya, sambil tersenyum.

Saya setuju dengan usul yang ia sampaikan. Waktu itu, saya sama sekali belum tahu-menahu tentang tekhnis di lapangan seperti apa. Maklum, ini adalah pengalaman pertama saya, mengikuti perjalanan penelitian bersama dosen. Menginap lagi. Sebelumnya, saya sempat mengira, kami akan disatukan dalam satu kelompok, dan menginap di rumah yang sama.

”Eh, Is, Indasah itu, siape si?”. Tanya saya.

”Indasah tu, Kete’, be kak” jawab Ismi spontan.

Saya diam sejenak. Saya mengenal Kete’, dia adalah sahabat baik Ismi. Mereka satu kelas. Selain dipanggil Kete’, dia juga biasa dipanggil dengan sebutan Indah. Sebenarnya, saya lebih suka dengan panggilannya yang terakhir. Namun, karena hampir semua orang memanggil Kete’, nama Indah jadi terasa asing di telinga saya. Entah apa yang melatarbelakangi timbulnya panggilan itu.

”O.... die rupenye. Emangnye die ikut ke nante?. Nape sekarang die tak datang?“ tanya saya lagi, di kepala saya sudah muncul sebuah ide.

”Iye, nanti die ikut kok, pagi ni die ade acara kak, jadi tak bise ikot“. Terang Ismi.

“Eh Is, bagos Iis tukar kelompok jak ma Kete’. Is same kakak, Kete’ tukar ke kelompok satu, ma Ambar dan Erika, biar kite bise bekongsi sabun” ucap saya akhirnya, sambil lebih mendekat ke arah Ismi. Ismi terlihat sempat ragu dengan ide saya barusan, namun kemudian bisa diterimanya.

”Tapi, kakak yang bilang ma pak Yus ye....”. Ujar Ismi.

”Itu mah gampang, yang penting Ismi maok jak dulu....”. Potong saya.

***
Pembagian kelompok, yang dilanjutkan dengan sedikit pengarahan oleh panitia, selesai jam 13.10 menit. Kami bergegas menuju masjid Syahid, untuk menunaikan shalat dzuhur, yang sempat telat selama satu jam.
Selesai shalat, saya langsung ke kantor redaksi LPM, yang terletak di lantai dua, gedung MAS Syahid. Kami lebih senang menyebutnya kantor redaksi, ketimbang sekretariat. Saya ingin istirahat sejenak, sambil menunggu Ambar_sahabat baik saya, belanja keperluan perjalanan, dan untuk bekal Siti, adiknya selama ditinggal. Dalam perjalanan kali ini, kami berdua sepakat untuk menggunakan motor abang saya.
Sekitar satu setengah jam berikutnya, Ambar sampai di kampus. Waktu benar-benar terasa mencekik leher. Bayangkan, kami hanya punya waktu kurang lebih satu jam untuk bersiap-siap. Perut udah keroncongan sejak tadi, di rumah, tak ada makanan yang bisa langsung dimakan. Dan itu berarti, kami harus masak dahulu. Belum lagi perjalanan dari kampus ke rumah saya yakni di Tanjung Hulu dan sebaliknya, memakan waktu paling tidak sekitar setengah jam. Beruntung hari sudah siang, jadi jalanan tidak terlalu padat, karena jam segitu, pegawai kantor dan anak sekolah tidak lagi padat di jalan. Tak terbanyangkan jika pagi hari, jangan ditanya berapa panjang antrian yang harus kami lewati.
Begitu sampai di rumah, kami langsung masak seperti tukang ojek yang lagi mengejar setoran. Tak peduli seperti apa rasanya, yang penting kami tahu masakan kami tidak mentah, itu saja. Tepat jam empat, akhirnya ”kebut-kebutan” kami berdua, sampai ke finishnya.. Dan kami siap berangkat, dengan ngebut lagi tentunya.

”Mbar, kite telat neh. Jangan-jangan cume kite bedua jak yang belom datang. Malulah kite ne, kalo’ semua orang nunggu kite bedua jak”.

”Iye, pasti kite diolok kena bapak-bapak tu” sahut Ambar.

”Waduuh, malu lah kite ne..., apalagi kalo pak ganteng udah datang duluan. Iih... kan nggak enak. Eh, tahu ndak, dari tadi saye tuh deg-degan neh, kan nanti satu kelompok ma dia... hehehheh... ”.
Pak ganteng yang saya maksud adalah salah satu dosen kami. Sebagian besar mahasiswi, termasuk saya, menyukai beliau. Selain karena orangnya memang ganteng., dia juga baik ramah, dan pinter. ”Sayang udah ada istri” komentar salah seorang teman saya dulu.

“Heeh.... Dasar, centil!. Tak pape, cam mane gak, kite tak sengaje be.... eh, Cha, telat-telat gak, tapi janganlah bawa motor tu laju sangat, Ambar maseh mau nyampai desa Durian tau..!”. Tegur Ambar.

”Iye be, saye tahu, belom nikah juga kan? Tenang jak, tadak be laju amat. Sedang-sedang jak ne”. Goda saya, yang langsung disambut dengan tawa kami berdua.

***

Pukul 04.13, akhirnya kami selamat sampai di kampus. Di pendopo yang terletak di depan perpustakaan, sudah banyak peserta yang ngumpul, dengan bawaan masing-masing. Kamipun langsung bergabung dengan mereka.

”Alhamdulillah Mbar, ternyata kite bukan termasuk orang terakhir yang ditunggu” ujar saya, sambil mengatur nafas, dan meletakkan ransel serta helm di kursi. Beberapa menit berselang, datang bang Tino dan Ismi, lalu disusul Indasah.
Sambil menunggu yang belum datang, kami habiskan dengan bergurau. Tak lama, pak Ibrahim dan pak Yus manghampiri kami.

”Masih berape orang lagi yang belum datang”? Tanya mereka kemudian.

”Tinggal bu Jun dan bu Fatma jak kaya’ nye pak...”. sambut Ambar.

Lima menit berikutnya, orang yang kami tunggu-tunggu akhirnye datang. Kedatangan bu Jun dan Bu Fatma, disambut dengan gurauan oleh kami semua. Karena semua peserta telah hadir, kamipun segera berangkat, setelah sebelumnya tak lupa diabsen oleh masing-masing ketua kelompok.

”Cepatlah Ca, orang-orang udah jalan tu. Ambar tak mau di belakang ye, tak seru...” desak Ambar.
Semua orang, sudah berada dia atas motor mereka masing-masing, dan siap berangkat. Saya segera menstarter Honda Supra X, keluaran tahun 2003, yang akan menjadi pengantar setia kami dalam perjalanan tersebut.

”Iye, tenang jak, nanti kite susul be orang-orang tu. Ambar kan naik motor ma pembalap, jadi jangan takut ketinggalan. Bile perlu kite yang di depan, jadi navigator”. ujar saya meyakinkan Ambar.

”Wuih, jangan!. Kalo kite yang jadi kepala jalan, bise-bise kite semua tak nyampai-nyampai pula...” kata Ambar yang lantas diiringi tawa.
Kami berdua pun langsung memacu sepeda motor. Satu-satu orang-orang yang tadinya berada di depan, kami lewati.

”Tuu liat kan, kite udah di depan dah. Sekarang Ambar bilang, mau di depan siape age’ ha....?”.

”Hehehe........ Udah, cukup dah....” kata Ambar akhirnya.
Selama perjalanan, kami tak habis-habisnya bergurau. Ada-ada saja yang kami jadikan bahan tertawa.
Sampai di perempatan jalan A. Yani, yang juga merupakan batas antara kota Pontianak dengan kabupaten Kubu Raya, kami behenti sejenak karena traffic light sedang menunjukkan warna merah.

”Cha, cobe liat ke depan tu, tade’, Ambar kire, pohon itu tu, emang tumbuh di jalan. Heran gak Ambar liatnye, bile masa pula pohon tu ade di situ? Eh, ternyate ade pick up yang bawa.”. Seloroh Ambar, sambil menunjuk ke arah rimbunan pohon hias yang sangat subur, ”tumbuh” di tengah jalan, tepat di depan kami.

”Iye, tadi saye pon ngire gituk gak... hampir jak saye mau bilang, orang ne kaya’ ndak ade kerjaan jak, nanam pohon di jalan, udahlah jalan di sini ne sempit, jadi makin sempit lah...” sambung saya.

Kami terus memacu laju kendaraan. Sesekali kami menyalip, dan sesekali pula kami yang didahului. Kondisi jalan di sana yang masih cukup baik, dan kendaraan yang lalu lalang tidak terlalu ramai, membuat perjalanan kami tidak mengalami kesulitan yang berarti. Di samping kiri-kanan kami, masih terdapat banyak pohon. Karena jalan ini masih baru, rumah-rumah penduduk belum banyak berdiri. Kondisi ini membuat, udara yang kami hirup sepanjang jalan masih terasa sangat alami. Benar-benar tersa di kampung.

”Cha, kalo’ liat jalan ne, Ambar jadi ingat ma jalan menuju kampung Ambar. Jadi pengin pulang neh”. Ujar Ambar sambil menerawang. Kampung Ambar berada di kabupaten Sambas, tepatnya di Satai.
”Kangen tuh.... ltu lah, siapa suruh tinggal di pedalaman, jadi cume bise pulang satu tahun sekali. Cobe macam kame’ ne, tiga bulan sekali bise pulang” Saya menggodanya.
”Ih, macam mane gak.... tapi Ambar tak menyesal kok, tinggal di sana” balas Ambar. Dan kami terus tertawa dan bergurau.
***

Kurang lebih 45 menit berikutnya, akhirnya kami sampai di desa tujuan. Kami berkumpul di depan sebuah rumah berdinding beton, yang menurut saya lumayan bagus untuk ukuran rumah yang terletak di desa. Sambil menunggu peserta lain yang belum datang, kami duduk-duduk dulu, sambil melepas lelah.
Di sekitar halaman rumah yang agak luas tersebut tidak terdapat rumput sama sekali, apalagi sampah. Terdapat tanaman hias, namun tidak terlalu banyak. Saya perhatikan rumah-rumah di sekitarnya, kebanyakan kondisinya juga tak jauh berbeda dengan rumah tesebut.
Belakangan saya tahu, ternyata itu rumah pak Abdul Mu’in, beliau adalah ketua RT. Rumah tersebutlah yang akan menjadi tempat bermalam untuk kelompok satu.
Beberapa detik berikutnya, Ambar menerima telfon dari pak Yus. Dari percakapan yang saya dengar, saya bisa menangkap bahwa ternyata pak Yus, Ismi dan Indasah tertinggal rombongan. Agak nyasar. Mereka bingung mau ke mana. Ambar segera memberikan informasi mengenai jalan yang harus mereka tuju. Tal lama pak Ibrahim pun segera menyusul mereka.

Saya, Rizki Muhardini atau Dini, serta Erika memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak sambil menunggu kedatangan pak Yus dan yang lainnya. Toh, saya yakin, mereka tidak akan mungkin nyasar jauh.
Kami bertiga lantas duduk di tepian gertak (jembatan kecil). Sambil menikmati suasana desa yang begitu tenang, jauh dari polusi, dikelilingi oleh pohon kayu yang diiringi suara kicau burung. Benar-benar menenangkan.

”Kak, dulu tuh, Rika sempat bingung ngeliat bangunan seperti itu. Rika kira rumah orang. Tapi kok rumah nggak ada jendelanya, kan pengap. Eh tak tahunya kate bapak, ternyata itu sarang burung walet” ujar Erika sambil menunjuk ke arah sebuah bangunan tinggi, mirip rumah dari beton, di depan kami.
Saya dan Dini pun lantas menoleh ke arah bangunan yang Rika maksud tersebut. Kami berdua mengangguk dan terdiam beberapa saat lamanya.

”Oo.... bangunan itu sarang walet??? Baru tahu tuh.... hehehe..... ” ujar saye beberapa menit kemudian.

”Iye kak, Dini pun baru gak tahu tuh... Dini sering liat bangunan seperti itu, kirain rumah” kate Dini kemudian, sambil nyengir. Dini adalah mahasiswa Tarbiyah, PAI, semester delapan.

”Haah.... dari tadi kakak bedua ne diam-diam jak, ternyate belom tahu.... ya ampuuun.... Rika kire tadi tahu. Buat muke tak bedose pula’ tuh.... hahaha.......” cecar Erika, sambil melempari kami pake rumput.

”Hehe...... tadi rencanenye maok diam-diam jak, sok tahu.... kan malu ngaku tak tahu..... ” ujar saya sambil menoleh ke arah Dini.

”Dini kira tadi tu, Kak Icha memang udah tahu, makanye Dini diam jak. Kalo’ kakak ndak ngaku tadi tu, Dini pun maok diam juga.... hehehe.....” ujar Dini sambil terkekeh.

”Kakak bedua ne emang lah ye... ” ujar Erika, lantas ia memukuli saya, saking gemasnya. Detik berikutnya kami bertiga pun tertawa bersama.

Tak lama. Bang Tino menyusul. Seperti Dini, bang Tino juga kuliah di jurusan Tarbiyah. Tino Amindani nama lengkapnya, terkenal dengan kegokilannya. Siapapun yang dekat dengannya, pasti akan tertawa terus mendengar ocehannya yang cuek, nyeleneh dan spontanitas. Dini dan bang Tino satu kelompok, yakni di kelompok dua. Dengan menenteng buku dan pena, ia lantas menghampiri kami.

”Ce ilee.... gaye bang Tino tuh... serius amat, udah kaya’ wartawan jak.....” saya menggodanya. Kami memang sering bergurau. Tanpa memperdulikan perkataan saya barusan, bang Tino masih tetap asyik mencatat sesuatu_ entah apa, di buku kecilnya tersebut. Lalu mendekat ke arah saya dan Dini. Erika duduk di seberang kami.

”Eh bu... utang kredit baju, masih 250 ribu ye.... bayar cepat!” ujar bang Tino kemudian, masih dengan wajah yang serius dan acuh-tak acuh. Benar-benar terkesan seperti tukang kredit yang lagi nagih hutang.
Kami kembali tertawa bersama. Dari jauh, saya melihat rombongan yang tadinya nyasar yakni Pak Yus, Ismi, Indah, kak Martina, kak Ningdwi, kak Irma, bang Maududi, pak Ibrahim dan pak Ismail Ruslan (pak Ganteng) datang. Kamipun segera kembali ke tempat semula, dan siap berpetualang lagi. Benar-benar hari yang indah.



Comments :

0 comments to “SOK TAHU”