free html visitor counters

11 March 2009

SAAT KEPALA SAYA JADI ADONAN.....





Hari Selasa, 10 Maret 2009, dengan penuh semangat saya berangkat ke kampus tercinta. Ini adalah hari pertama kami masuk kuliah, setelah libur akhir semester selama kurang lebih 1 bulan. Tak terasa, ternyata sekarang udah menginjak semester empat. Wuih, tak terbayang..... cuma sekitar empat semester ke depan *maunya si gitu...* saya udah tak berstatus mahasiswa lagi, mungkin jadi konselor sukses, penulis hebat, peneliti, atau malah mahasiswa S2 Psikologi.... (khayalan tingkat tinggi, mumpung mimpi masih gratis... ;-P).


Hati sudah sangat rindu dengan kampus. Satu bulan jadi ”ibu rumah tangga”, capek juga euy....
Pas nyampai di kampus, hanya beberapa orang saja yang sudah datang. Biasa, syndrome hari pertama kuliah, pasti banyak yang datang telat, bahkan banyak juga yang tidak datang sama sekali....
Menurut jadwal yang sudah tersebar, hari itu kami ada mata kuliah Filsafat Dakwah dan Psikologi Dakwah. Dan menurut jadwal juga, kami masuk jam 07.30 tepat. Namun, sampai jam di hape saya menunjuk angka 08.00, sama sekali tidak ada tanda-tanda yang mengisyaratkan akan datangnya dosen.
Tapi yah.... kami tetap asyik-asyik saja ngobrol, ’kan udah lama tak ketemu, jadi banyak cerita yang harus diceritakan bersama kawan-kawan di kelas.
Jam 08.20, saya mengeluarkan hape dari kocek. Eitt..... ada satu panggilan tak terjawab rupanya. Penasaran, saya periksa, kira-kira siapa orang yang menghubungi saya barusan.
Ternyata, panggilan tersebut dari pak Gito. Beliau adalah ketua Prodi BPI, yang mengampu mata kuliah Filsafat Dakwah, yang harusnya masuk jam 07.30 tadi.
Waduuh.... jadi nggak enak. Pasti tadi beliau bingung dan heran, kanapa mahasiswa yang disayangi beliau ini, tak mengangkat telfon..... ;-)
Tanpa fikir panjang, saya langsung mengirim SMS pada beliau, menanyakan perihal apa, sehingga beliau menghubungi saya, sekalian minta maap karena tak dengar suara hape tadi...

”Kak, janganlah sms, nelfon jak.... tak enaklah.....” ujar Fatmi, salah satu teman saya di kelas, yang selalu berpenampilan rapi itu.

”Eh, ape salahnye, tak pape be.... nanti kan, kalo mang benar-benar perlu, pasti bapak nelfon balik. Bapak kan sayang ma kakak, hehehe…..” jawab saya dengan lagak narsis, yang langsung disambut bibir monyong, dan terikan ”Huuuuuuu.....” secara kompak dari kawan-kawan.

”Assalamualaikum pak.... maaf, tadi hape saye jauh, jadi tak kedengaran. Ada apa ya pak?”. begitulah bunyi SMS yang saya kirimkan. (sopan gak sih?)
Tak lama, ada balasan dari Pak Gito.

”Waalaikumsalam. Hari ini Filsafat Dakwah belum masuk. Saya ada acara pembukaan pembekalan PPL. Maaf dan Terima kasih”

Saya langsung menyampaikan informasi tersebut di depan kelas. Kebanyakan mereka, tampak girang dengan info barusan. Yah, sekali lagi, ini adalah syndrome hari pertama kuliah, biasanya mahasiswa kebanyakan belum semangat belajar... (padahal, setelah kuliah aktifpun, kadang juga begitu....)

”Terus, bagaimane ne kak, kite pulang ke ndak? Kire-kire, Abah masuk ndak ye?” Haikal, sang ketua kelas, mengajukan pertanyaan.
Abah adalah panggilan kami semua untuk pak Dulhadi, ketua Jurusan Dakwah, yang juga mengampu semua mata kuliah yang berbau-bau Psikologi.

”Kaya’nye si, Abah pon tak masuk lah... pak Gito yang Ka-Prodi aja tak masuk, apalagi Ketua Jurusan” ujar saya diplomatis, seperti pengambil kebijakan di DPR sana. Banyak yang senang dengan keputusan tersebut, walaupun belom tentu itu benar.

Tak lama berselang, Sarpini, datang dari arah perpustakaan. Dia bukan dari perpus, tapi dari sampingnya, yakni kantin bu Karim, kantin kebangsaan anak STAIN.
O iya, Sarpini, jika dibaca sekilas dari namanya, banyak orang mengira itu nama cewek. Padahal, ia adalah seorang cowok tulen. Tak terhitung sudah, daftar dosen yang keliru, jika sedang mengabsen, pas manggil namanya, pandangan dosen tersebut pasti mengarah ke arah kami, kaum cantik-cantik di kelas. Padahal di pojok yang tak terlihat, Sarpini udah pegal-pegal mengangkat tangan, sejak bermenit-menit lamanya.
Sarpini tadi, datang sekonyong-konyong membawa sekantong benda_yang belakangan saya ketahui ternyat berisi telur dan tepung terigu satu kilo.

”Kak, kite ngerjekan Topan yuk.... ” ajak nya. Topan, salah satu penghuni kelas kami berulang tahun tepat hari itu. Awalnya saya setuju dengan usul itu, namun akhirnya, saya tidak jadi bergabung. Karena tiba-tiba, perasaan saya tak enak. Saya yakin tepung ma telur tersebut, tak hanya buat Topan, tapi juga (mungkin) buat saya. Bukan tanpa alasan saya berfikir seperti itu. Walaupun sudah lewat, dua hari sebelumnya, adalah hari ulang tahun saya.
Saya langsung 'melarikan' diri ke Jurusan. Rencananya setelah itu, mau langsung ke kantor redaksi, karena hari itu, berdasarkan kesepakatan, kami akan ada rapat redaksi untuk penerbitan Warta selanjutnya.
Namun, langkah saya terhenti, karena Erika, mendesak saya untuk menemaninya ke perpustakaan, mengembalikan buku. Walaupun sedikit curiga, tapi saya mau saja ikut dengannya.
Erika terus meyakinkan saya, bahwa tidak akan terjadi apa-apa.
Saya_dengan langkah yang maju mundur, mendekati kelas kami, yang terlihat sudah sangat berantakan, dengan pecahan telur dan taburan tepung di lantai. Rata-rata, tangan mereka yang ada di kelas memegang segenggam tepung.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, saya lihat Topan udah ”bonyok” dikerjai kawan-kawan.
Melihat saya di depan kelas, Sarpini melangkah mendekat. Saya langsung bisa membaca gelagat tidak beres tersebut. Dengan sekuat tenaga, saya pun lari. Namun, dia tak putus asa, dengan langkah kakinya yang pastinya sedikit lebar, karena dia pakai celana, dia terus mengejar.
Akhirnya saya benar-benar kelelahan. Sarpini makin dekat, dan saya pun harus pasrah, saat dia melempar telur tepat mengenai kepala saya.
Saya mau tidak mau, harus rela, menyaksikan jilbab hitam yang saya gunakan berlumur telur dan tepung. Dalam kondisi seperti ini, mana bisa saya protes, apalagi marah. Selanjutnya saya langsung ke WC, membersihkan jilbab yang sudah seperti adonan kue kering (tanpa resep) tersebut.
Saya mengira, bau amis telur akan segera hilang setelah dibersihkan dengan air. Rupanya, sebaliknyalah yang terjadi, bau yang bikin perut terasa dililit-lilit tersebut malah makin menjadi. Saya serasa sedang keramas dengan sampo yang terbuat dari kocokan telur. Kepala saya langsung puyeng, isi perut meronta-ronta dan terus mendesak untuk segera keluar. Syukur tak sampai semaput. Salah seorang mahasiswi yang kebetulan lewat, hanya terheran-heran, menyaksikan saya terhoek-hoek, sambil memegang perut. Mungkin dia mengira saya adalah ibu muda yang lagi ngidam kali... (Hayooo.... mana suaminya...Wkakakak.... )
Karena tak tahan, saya pun menghubungi Erika, mengajak ia pulang ke kost-an tempat ia tinggal, yang berada di belakang kampus, untuk mandi dan ganti baju. Saya tidak bisa langsung pulang, karena masih ada dua agenda yang menunggu di kampus. Karena tak bawa baju ganti, Erika pun dengan senang hati meminjamkan bajunya untuk saya pakai.

Pelajaran berharga yang saya dapat adalah, ide kurang baik, yang kita lontarkan untuk mengerjai orang lain, cepat atau lambat, itu hanya akan kembali pada diri kita sendiri. (sekarang saya mau buat pengakua: Sebenarnya yang pertama kali mengusung ide nengerjai tiap orang yang lagi ulang tahun di kelas kami, tercetus dari mulut saya sendiri..... Hihihihih....) Allah itu, memang maha adil kan?? Seperti kata Andrea Hirata dalam novel Edensor-nya, ”ALLAH TAHU, TAPI MENUNGGU!!”. Inilah yang saya dapat, dari ide konyol tersebut.

Terima kasih buat Allah, yang telah memberikan saya pelajaran berharga ini. Makasih juga buat semua keluarga, serta sahabat-sahabat terbaik saya semuanya, yang sudah begitu menyayangi saya, walaupun mungkin saya belum pantas mendapatkan itu.

Terakhir, boleh dong minta tips dari orang yang sudi baca tulisan ini, bagaimana cara menghilangkan bau amis sisa telur di pakaian dengan tuntas, tanpa meninggalkan jejaknya sedikitpun....??? makasih semuanya.....



Comments :

0 comments to “SAAT KEPALA SAYA JADI ADONAN.....”