free html visitor counters

07 March 2009

Petualangan Dengan Kuda Besi







“Kak kita berangkatnye jam berape?” tanya Erika pada saya.
Hari itu, kami memang berencana berkunjung ke rumah teman kami yang berlokasi di Kecamatan Jawai.
”Bentar lagi, pokoknye kalo’ kite udah selesai bekemas, kite langsung pegi deh” jawab saya.


Erika tampak tidak sabar untuk melakukan perjalanan ini. Selama beberapa hari dia berada di rumah, baru satu kali saya mengajaknya jalan-jalan, itupun hanya sebentar, yakni ke Semparuk membeli baterai kamera. Kondisi jalan, membuat saya enggan pergi ke mana-mana.
”Tapi Rika siap-siap ye, karena kita bakal berpetualang dengan kuda besi lagi neh.... dan kayanye, medan yang bakal kite lalui kali ini lebih berat deh”
Kuda besi, adalah sebutan kami untuk sepeda motor. Disebut begitu karena kondisi jalan yang rusak berlubang dan berdebu membuat setiap orang yang mengendarai sepeda motor serasa naik kuda. Walaupun seumur hidup, saya sama sekali belum pernah naik kuda, tapi ya... mungkin kurang lebih begitulah rasanya.

Pukul 08.25, akhirnya kami berangkat. Dengan mengendarai Yamaha Vega R yang kondisisnya sudah agak tua, kami siap berpetualang.
Matahari sudah mulai sedikit menyengat. Hari itu kami beruntung, karena cuaca sangat cerah, sebab jika hari hujan, maka medan yang kami tempuh akan semakin berat. Jalan akan menjadi becek dan licin, karena sisa aspal jalan hampir tidak ada sama sekali, dan sekarang yang tersisa hanya tumpukan batu-batu, itupun hanya sedikit.
Sebenarnya jalan di daerah kami baru diaspal sekitar 3 tahun yang lalu. Mungkin dikarenakan pondasi jalan yang kurang kuat, sehingga ia tidak mampu menanggung beban berat kendaraan roda empat yang dulu sering kaluar masuk untuk mengangkut hasil panen jeruk petani serta hasil-hasil kebun yang lainnya.
Saya masih ingat, dulu pada awal-awal jalan tersebut dibangun, warga sangat-sangat dimudahkan untuk mengangkut hasil kebunnya ke pasar. Namun sekarang, masyarakt di sana kambali beralih ke jalur air, yah...walaupun biaya dan waktu yang dikeluarkan sedikit mahal, apa boleh buat, mereka tidak ada pilihan lain.
”Kak, ape jalannye tak pernah di perbaiki ke?” kembali Erika mengajukan pertanyaan.
”Setahu kakak si, dari sejak diaspal dulu, memang tidak ada upaya perbaikan sama sekali. Kondisinyanya ya... seperti inilah... mungkin tidak ada dana kali?” ujar saya sok tahu. Karena memang saya sendiri kurang tahu, apa penyebab, sehingga hal ini sepertinya dibiarkan begitu saja.
”Kalau di tempat Rika si Kak, jalannya bagus banget. Tiap tahun ada perbaikan jalan” katnya lagi.
Entahlah rika.... kakak juga ndak tahu. Kenapa di sini jalannya tak pernah diperbaiki, mungkin aja karena tak ada yang membanggakan dari daerah kakak kali, makanya tak diperhatikan” kata saya akhirnya.
Dalam perjalanan, kami terus saja ngobrol. Satu-satu desa yang kami lintasi saya perkenalkan dengan Erika, maklum dia baru pertama kali datang ke Sambas. Dia banyak diam, dan sesekali bergumam.
Sampai di kota Tebas, saya memilih jalur yang menuju ke SMU N I Tebas, tempat saya menuntut ilmu dulu. Sudah lama sekali saya tidak mengunjungi sekolah tersebut. Terakhir sekali ke sana saat legalisir ijazah untuk mendaftar di STAIN, dan itu berarti kurang lebih dua tahun yang lalu.
Tak banyak perubahan berarti yang terjadi di sana. Walaupun kami tidak sampai masuk ke area sekolah, tapi dari depan saya masih bisa melihat kondisi bangunannya. Gedungnya masih gedung yang sama. Catnya pun sama sekali tidak berubah, cat warna kuning yang sudah tua. Padahal, saya meninggalkan sekolah ini sudah 7 tahun lamanya. Ini salah satu hal yang membuktikn bahwa pembangunan di Kota kecil seperti kota Tebas ini, berjalan sangat lamban. Beda dengan jika berada di kota besar, Pontianak misalnya, jangankan 7 tahun, tujuh bulan saja kita tidak ke sana, mungkin kita akan tercengang, karena perubahan-perubhaan yang kita dapati di sana.
”Rika, cobe liat pohon jambu itu tu... tau nggak, dulu waktu kakak sekolah, pohon itulah yang sering kakak panjatin sama kawan-kawan pas jam istirhat. Padahal, waktu itu kakak udah pake jilbab lho rika. Kakak tak mau kalah ma yang cowok. Soalnye kalau cume di bawah, bise-bise tak kebagian buah jambunye” kenang saya
Erika hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala mendengar cerita saya tersebut.
Perjalanan kami lanjutkan, sebenarnya saya ingin sekali berlama-lama di situ, tapi waktu tidak mengizinkan, karena perjalanan yang bakal kami tempuh masih jauh.

Akhirnya kami sampai di desa Perigi Piay. Desa tersebut terletak di tepian sungai, dan untuk sampai di kecamatan Jawai, kami harus menyeberangi sungai tersebut. Untuk menyeberang, ada dua aternatif angkutan yang bisa dipilih, yakni kapal penyeberangan atau Fery (di sana disebut pelampung), atau naik motor air biasa. Walaupun biayanya sedikit mahal, kami lebih memilih alternatif yang kedua. Petimbangan waktulah yang membuat saya memutuskan hal itu. Karena untuk naik Fery, kami harus menunggu lagi, paling tidak sekitar 15 sampai 20 menit ke depan, baru bisa sampai. Biaya naik motor air ini Rp 6000, untuk dua orang plus satu buah motor. Namun jika musim lebaran, biasanya biayanya akan naik menjadi Rp 7000 sampai Rp. 10.000 Itu saat jam kerja, jika malam hari, maka biayanya akan lebih mahal lagi.
”Kak, tak pape ke ni? Perahunye kecil bener, takut Rika kak” kata Erika, dia tampak gugup.
”Ndak pape be Rika, tenang jak, tak ade gelombang be... dan kalopun karam, Rika kan bise berenang. Yang kasian tu motor kite tu... walalupun die bebek, tapi die tak bise berenang, hehehe....” kate saya mencoba bercanda, agar dia tidak terlalu tegang.
”Eh... Rika kan lahirnye di atas sungai kapuas kan? Di dalam motor kaya gini juga kan? Jadi buat ape takot” kata saya lagi. Mendengar hal itu, Erika lantas tertawa.

Tak lebih dari lima menit, kami pun sampai di seberang.
Saya pun kembali memacu kandaraan bermotor kami. Agak ngebut, karena kondisi jalan sepi, dan kami memang dikejar waktu. Kami melintasi kecamatan Tekarang. Kecamatan tersebut merupakan kecamatan termuda yang memekarkan diri setelah Semparuk. Dulu Tekarang masuk dalam wilayah kecamatan Tebas.
Kami melalui desa Rambayan. Jalan di sana, jauh lebih baik dibandingkan jalan-jalan yang telah kami lewati tadi. Kenyataan ini membuat saya lega. Karena itu berarti, waktu tempuh kami bisa dipersingkat. Jalan di sini benyak mengalami kemajuan, dibanding satu tahun yang lalu.
Satu demi satu desa kami lalui, tak jauh berbeda dengan jalan menuju desa saya, sepanjang jalan yang kami lewati merupakan hamparan sawah menguning yang siap panen, serta perkebunan jeruk milik warga. Fikiran benar-benar tenang dibuatnya. Saya merasa tersegarkan kembali, setelah berbulan-bulan lamanya berada di kota Pontianak dan setiap hari harus menghirup udara yang telah terkontaminasi oleh asap-asap kendraan serta asap yang berasal dari pabrik-pabrik.
Kami tak henti bergurau. Sesekali saya menggoda Erika. Dan kami benar-benar bisa tertawa lepas. ”Mumpung sepi” kata saya pada Erika.

20 menit berikutnya, akhirnya kami sampai di kota Jawai. Saya tidak terlalu asing dengan kota ini. Waktu masih SMA dulu, saya sering ke sana, ikut kegiatan Pramuka. Seperti halnya dengan kota Tebas, kota Jawai pun, tidak terlalu banyak mengalami perubahan yang berarti dibanding 8 tahun yang lalu. Geliat pembangunan di sana juga sepertinya tidak berjalan cepat. Bangunannya, jalan-jalannya, sepertinya masih seperti yang dulu saja.
Melalui petunjuk warga setempat yang kami tanyai, sekitar 10 menit berikutnya, kamipun tiba di rumah teman kami. Namanya Nani Purbasari. Rupanya dia telah menunggu kedatangan kami sejak pagi, dan mempersiapkan es kopyor untuk kami.
”Alhamdulillah, panas-panas gini di kasih es kopyor... hmmm segeeer” kata Erika lantas meneguk es yang terbuat dari agar-agar dan kelapa muda itu. Saya pun melakukan hal yang sama.
Kami berbincang-bincang sejenak, sambil menghilangkan capek. Setelah itu, dengan diantar Nani, kami langsung melanjutkan perjalanan ke rumah teman kami yang lain yakni Halim.
”Kak, kalla’ baharian (makan siang) di rumah ku ii... kame’ udah berapi gammok (masak banyak), aku udah nunggu to’e. Dari jam 2 suboh tade’...” bunyi SMS dari Halim, sesaat sebelum kami berangkat tadi. Dan saya pun menyatakan kesediaan untuk numpang makan siang di sana.
Rumah Nani dan Halim berjarak sekitar 1500 KM. Dan kami lagi-lagi naik kuda besi. Karena jalan menuju rumah Halim, ternyata tidak jauh berbeda dengan jalan desa kami, berbatu, berlubang, dan berdebu.
”Kak, nanti kite lewat tugu berdarah” kate nani memberi informasi.
”Tugu berdarah itu ape kak?” tanya Erika dengan nada bingung.
”Tugu bedarah tu Rika, adalah tugu di mana dulu mayat-mayat korban kerusuhan Sambas dikumpulkan. Kejadiannye tu, pas hari lebaran. Makanya di tugu tersebut ada ketupat yang berdarah. Jadi boleh dikatekan, dari desa Halim inilah awal mula terjadi pecah perang itu” kata saya singkat. Saya tahu informasi itu dari Halim sendiri. Namun saya tidak tahu banyak, dan hanya mendengar sekilas saja. Waktu itu saya tidak terlalu tertarik untuk membicarakan hal itu lebih dalam. Erika tampak memahami hal itu, lantas ia mengangguk. Entah faham, atau malah bingung. Saya juga tidak tahu.
Di rumah Halim, kami telah ditunggu oleh adik perempuan dan ibunya Halim. Kami diperlakukan seperti tamu agung yang sangat diistimewakan. Kami ngobrol dengan akrab.
Selang satu jam berikutnya, Hadi dan Martopan, sahabat kami yang lainnya datang. Mereka berdua satu kampung dengan Nani, yakni di Sei Nyirih, sedangkan kampung Halim di Parit Setia.
”Kak, kite ke pantai Jawai yuk... mumpung kakak dan rika di sini, jadi sekalian lah kite ke sana” Hadi mengusulkan.
”Iye boleh, kakak pun sama sekali belum pernah ke sana” kata saya kemudian, yang disambut anggukan Erika dan yang lainnya.

Setelah makan siang, kamipun langsung berangkat ke lokasi yang dimaksud.
”Jauh ndak ni Pan? Terus, jalannye jelek ndak” kata Erika.
”Ya.... lumayanlah, sekitar satu jam gitu lah. Jalannye pun lumayan bagus kok.... ” jawab Topan.
Di jalan, kami saling bersaing memacu kendaraan. Seperti halnya jalan di kecamatan Tekarang tadi, jalan menuju pantai Jawai pun terbilang sepi. Kiri-kanan, hanya terdapat pohon kelapa yang menjulang. Jawai memang identik dengan hasil kelapanya. Mungkin karena kecamatan tersebut berada di tepian pantai kali....
Jalan yang kami lewati mulus-mulus saja, sampai pada persimpangan jalan menuju ke Pantai. Ternyata medan yang bakal kami lalui jauh lebih parah ketimbang jalan desa saya. Di sepanjang jalan, hanya terdapat batu-batu besar seukuran buah kelapa yang letaknya tidak beraturan. Sepertinya, jalan ini akan diaspal, dan sekarang kami datang di waktu yang kurang tepat, karena proses pengaspalan itu, baru sampai pada penyusunan batu yang akan dijadikan pondasi jalan tersebut sebelum diaspal.
Saya hanya bisa terdiam menyaksikan ”pemandangan indah” di depan saya. Saya tak mampu berkata apa-apa. Beberapa kali saya hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Berharaf dengan begitu, batu tersebut berubah jadi mengecil...
Erika histeris, dan hanya bisa melakukan hal yang sama. Pasrah. Karena untuk mundur, tanggung. Kami udah menempuh jarak yang tidak dekat untuk sampai ke sini. Selangkah lagi, kami akan segera sampai di tempat yang kami impikan.
Dengan mengerahkan semua tenaga dan kemampuan, saya terus memacu kendaraan. Sesekali terdengar benturan batu-batu tersebut mengantam mesin. Bunyi motor sudah tidak karu-karuan. Saya hanya berharaf, semoga saja motor tua ini mampu bertahan menghadapi cobaan berat yang sedang ditanggungnya. Karena jika mogok, maka tamatlah riwayat untuk bersenang-senang.
Kami terus berjuang, keringat bercucuran, tangan kanan saya sampai kesemutan. Belum lagi cuaca panas yang menyergap. Ya Rabb.... kuatkan hamba-Mu...

Setengah jam berikutnya, akhirnya kami sampai ke tempat yang kami tuju. Di depan kami terdampar sebuah karpet biru yang sangat luas. Lautan. Subhanallah. Betapa sempurnanya ciptaan-Nya.
Seketika itu pula semua keletihan, keluh kesah, dan sakit tadi hilang lenyap.
Kami terus menyusuri tepian pantai tersebut. Dan kami berteriak sekuat-kuatnya seperti orang yang baru bebas dari beban berat.
”Kak, jangan nak nak jadi gile ye.... gawat neh, calon mak mertue jadi gile” gurau Topan. Tapi saya tidak peduli.
Setelah puas berjalan, kami semua duduk di atas batu, sambil menikmati cemilan ala kadarnya, sambil bergurau.
Hadi dan temannya lantas naik ke atas batu yang lebih tinggi. Melihat itu, saya tidak mau ketinggalan, saya pun segera menyusul mereka.
”Macam mane nak naik ni Di? Tadi Hadi lewat mane?”
”Mane bise kakak manjat, tinggi ni, sapa suruh juga, pake rok?” jawab Hadi.
”Eh, jangan salah, kakak bise kok. Lagian kakak juga pake celana tau... ” saya membela diri.
Tak butuh waktu lama, saya pun bisa naik ke atas batu yang sama. Tak lama Erika dan Martopan juga ikut menyusul. Cuma Halim dan Nani saja yang tetap asyik main air.
Karena waktu yang sudah semakin sore, kami memutuskan untuk segera pulang. Takut kamalaman. Hadi dan Martopan menawarkan kami pulang setelah magrib. ”Kite liat sunset dulu kak, ntar kame’ antar lah sampai ke pelampung”. Ujar mereka. Namun kami tetap ngotot pulang. Suatu saat nanti, pasti kami akan kembali datang ke sini. Kami segera bersiap-siap untuk kembali berpetualang dengan kuda besi.



Comments :

0 comments to “Petualangan Dengan Kuda Besi”