free html visitor counters

01 December 2010

Hati-hati…..



“Hati-hati, jangan terlalu fanatik terhadap diri sendiri”
Itu adalah sebuah nasehat yang diberikan seorang sahabat, beberapa waktu silam.
Awalnya aku bingung, apa maksud perkataannya yang seperti itu.
“Apa wujud kefanatikan seseorang terhadap diri sendiri?”
Aku bingung. Dan hanya mampu terdiam. Aku tak berani bertanya padanya.
Aku berfikir. Sendiri. Dan untuk beberapa lama, ia membiarkanku melakukan itu. Mungkin dia ingin melihat, seberapa cedas aku mencerna kata-katanya. Aku menyerah. Beberapa waktu, aku tak bisa menemukan jawaban apa-apa. Otakku seperti buntu. Mungkin memang benar, bahwa kadang jika hati sedang diliputi emosi yang tak terkendali, maka otakpun akan jauh lebih sulit untuk berfikir jernih.


Setelah beberapa menit berlalu, barulah sahabatku itu menjelaskan padaku, tentang makana dari kalimat yang barusan menyita otakku.
“Apakah kamu pernah merasa, saat memiliki masalah berat, lalu kamu berfikir masalah yang kamu hadapi adalah masalah yang terberat dibanding masalah orang lain?”
Saya langsung menjawab “Iya, pernah”
Lalu ia melanjutkan.
“Apakah kamu pernah merasa, saat engkau sedih, engkau merasa ingin diperhatikan oleh orang lain, lalu saat kau tak mendapatkannya, kau akan mengatakan bahwa orang tersebut tak lagi menyayangimu?”, tanyanya lagi.
Akupun mengangguk dengan polosnya.
“Terus, apakah kamu pernah merasa saat orang lain menyakiti hatimu, kamu berfikir orang tersebut harus meminta maaf padamu, baru sakit hati itu akan hilang”, kembali ia bertanya, sambil membenahi jilbabnya.
Akupun melakukan hal yang sama dengan yang sudah-sudah. Mengangguk.
Aku sedikit bertanya dalam hati, kenapa ia terus-terusan bertanya seperti itu. Aku yang pada saat itu datang dengan air mata yang mengalir deras karena merasa diabaikan oleh seseorang, dan berharap mendapat perhatian darinya menjadi bingung. Aku sempat berfikir, ia tak lagi begitu perhatian pada kesedihanku. Aku semakin sedih.
“Kau tau, jika kita pernah berfikir seperti itu terhadap orang di sekitar kita. Maka itu menjadi bukti bahwa kita telah menjadi fanatik terhadap diri sendiri”, katanya sambil memandangiku tak berkedip.
“Kita boleh saja berharap untuk diperhatikan maupun disayangi orang lain, akan tetapi jangan sampai keinginan itu menguasai kita. Sehingga jika kita tak mendapatkan apa yang kita inginkan, maka justru kita akan menyakiti diri sendiri dan menyakiti orang terdekat kita dengan penilaian yang seperti itu”.
Tetes air mataku semakin deras mengalir. akan tetapi kali ini bukan karena “dia yang telah mengecewakanku” akan tetapi karena perasaaan malu yang mendera atas fikiran-fikiran jelekku selama ini. Aku terlalu gampang merubah penilaianku saat orang lain membuatku kecewa. Aku hanya mampu terdiam. Tergugu. Menunduk dalam.
Kemudian, dengan lembut sahabatku mendekat, lalu mengeluarkan saputangan kesayangannya lalu menghapus air mataku.
“Sudahlah, jangan menangisi sesuatu yang tidak penting. Air matamu akan lebih berharga jika digunakan pada saat kamu bermunajat kepada-Nya”.
Aku tetap tak bisa berkata apa. Jika dihitung-hitung, seumur hidupku, ternyata aku telah banyak sekali melakukan kefanatikan terhadap diri sendiri. Dan tiap kali aku merasakan itu, maka sememangnya aku telah menyakiti diriku sendiri.
Catatan 07 Oktober 2010 jam 22:11

Read More......

30 November 2010

Seandainya Aku Punya Jawaban….



“Kenapa si kak, akhir-akhir ini, saya lihat kakak tak semangat? Kakak ada masalah?”

pertanyaan tulus, keluar dari seorang adik hari itu, saat aku dan sahabat baikku duduk di depan kelas. Adik tersebut lantas bergabung dengan kami. Ia mengambil posisi duduk di sampingku. Dengan pandangannya yang polos, dia memperhatikanku, yang saat mendengar pertanyaannya tadi, hanya tersenyum-senyum saja. Senyum yang terkesan terpaksa.

“Tak tahulah ngape. Kakak lagi mengalami penurunan motivasi jak” Jawabku.
Kami terus berbincang santai dengannya. Sesekali, sahabatku menyela obrolan kami.

Dia terus mencercaku dengan pertanyaan demi pertanyaan, yang agak sulit untuk ku jawab. Dia mengutarakan bahwa dia butuh suntikan semangat dariku_yang justru sedang dalam masa “kritis”. Aku malu mendengar penuturannya. Justru jika mau jujur, akulah orang yang paling membutuhkan itu.




Tak tahulah apa yang terjadi pada diriku sekarang. Beberapa bulan terakhir, semangatku seakan luntur. Aku mungkin berada pada titik jenuh stadium akhir.

Tak hanya Adik tadi yang terheran-heran dengan perubahan yang terjadi pada diriku. Diriku sendiripun heran dengan apa yang terjadi.

Aku bahkan tak tahu apa yang menyebabkan diriku menjadi seperti ini. Beberapa Masalah yang kuhadapi, mungkin bisa dijadikan salah satu penyebab.Tapi, apakah benar seperti itu? Aku tidak begitu yakin.

Aku benar-benar jenuh dengan dunia dan rutinitas yang telah aku geluti bertahun-tahun. Padahal, dari sudut hatiku yang paling dalam, aku tetap merasa merindukan dunia itu dan membutuhkannya. Tapi, aku belum bisa menghilangkan perasaan jenuh itu. Aku terjebak di dalamnya. Terjebak pada perasaan yang tak bisa kukendalikan dan tak bisa kuatasi.

Aku mungkin membutuhkan banyak orang yang mau bertanya seperti adik tadi. Karena mungkin, saat ada yang bertanya, aku akan merasa malu, saat aku tak bisa mencari jawaban atas pertanyaan itu. Mungkin dengan begitu, aku bisa melawan perasaan jenuh itu.

Read More......

07 September 2009

Panik



Tahun ini, untuk kali yang kedua, kami kru WARTA LPM STAIN Potianak kembali mendapatkan kepercayaan dari panitia Orientasi Pengenalan Akademik (OPAK) 2009 untuk kembali meliput seluruh rangkaian kegiatan OPAK ’09 dari awal sampai akhir. Jadi selama lima hari, kami harus menerbitkan WARTA yang nantinya akan dibagikan kepada sekuruh peserta yang total berjumlah 405 orang.
Walaupun wartawan kami tampak masih canggung, maklum ini adalah liputan pertama mereka tanpa didampingi senior, setelah mereka dikukuhkan 26 April 2009 kemaren. Akan tetapi, mereka tampak bersemangat. Sangat bersemangat.
Hari pertama dan kedua dilewati dengan sukses. Warta sampai di tangan peserta tepat pada waktunya, yakni habis Dzuhur. Akan tetapi, tidak untuk hari yang ketiga.
“Bang Ari WARTA belum dicetak,” suara Kiki terdengar panik di seberang telfon. Kiki dan Ninda, hari itu mendapat tugas mengambil WARTA di percetakan, yang biasanya di handle oleh Ari dan Herianto.
Kami semua Romy, Ira, Iza, Ambar, Ari, Herianto (Lembu) dan aku yang saat itu sedang sibuk mengetik berita di kantor redaksi LPM, terkejut mendengar kabar dari Kiki barusan. Waktu itu, jam telah menunjukkan pukul 10.50 Wiba, seharusnya di jam segitu, WARTA sudah ada di Kantor redaksi dan siap dilipat dan diantar ke sekretariat BEM.
Ari langsung berinisiatif menelfon nomor Kiki. Tapi, tak sempat bicara, telfon langsung tulalit. Tak kehabisan akal, Ari kemudian kembali menghubungi nomor Ninda.
“Eh... ni hape Ninda... ditinggalkannye rupenye,” Ambar berkata sambil menujukkan hape butut type 2600 milik Ninda yang ternyata berada di tepi si kompi (komputer).
“Ya ampun, jadi gimanelah ne, hari dah siang dah ne, jam berape bise selesainye, kalo jam segini belum dicetak?,” ucapku.
Menurut informasi dari Kiki, Abah – orang yang selama ini kami percaya untuk mencetak WARTA dari sejak pagi telah keluar rumah, jadi Master serta kertas yang kami titipkan ke Putra Abah untuk percetakan, belum sampai di tangan laki-laki paruh baya tersebut dan yang lebih membuat kami panik adalah, Abah tidak membawa hape, jadi secara otomatis tidak bisa dihubungi sama sekali.
Kepanikan dan kekhawatiran begitu kuat terasa di kantor redaksi. Tambahan lagi, wartawan hari ini (Kamis) sedikit telat menyerahkan berita, belum lagi WARTA edisi khusus BEM, MPM, HMJ dan UKM belum selesai di layout. Aku sedikit pesimis untuk bisa menyelesaikan tugas hari itu. Namun, candaan dan tawa di kantor redaksi tak pernah berhenti, hal itu yang akhirnya memicu semangat para wartawan WARTA untuk terus melanjutkan tugas dan tanggungjawab hari itu.
Jam 14.25 Wiba Ari kembali menghubungi Abah, memastikan nasib WARTA selanjutnya. Kali ini alhamdulillah, Abah bisa dihubungi.
“Iye bah, klo jam tige atau empat gitu, boleh lah,” ucap Ari.
“Nong, jangan jam empatlah, jam tige jak,” protes Ambar.
“Iye, jam empat mane gak sempat, belom nak ngelipatnye agik,” sambutku.
“Ee.... masalah kecil bah, jangan nak dibesak-besakkan,” Heri memotong omelan kami, seperti biasa dengan gayanya yang cuek dan tatapan misteriusnya.
Tak ada yang berkomentar, menanggapi ucapan Heri barusan. Selanjutnya kami sibuk lagi dengan aktivitas masing-masing.
“Sape yang nak ngambil WARTA? Dah jam setengah empat ne?” Ambar mengingatkan.
Kantor redaksi kembali ribut untuk menentukan siapa yang bakal mengambil WARTA kali ini. Kiki dan Ninda yang tadinya dapat tugas itu, sedang mengetik berita, sedangkan wartawan lainnya tidak ada di tempat. Akhirnya sekali lagi Ari yang mengalah.
Setengah jam berikutnya, Ari datang membawa kardus warna hijau berisi tumpukan Warta. Kami yang saat itu masih memegang pekerjaan masing-masing segera berinsiatif melipat WARTA agar segera bisa diserahkan kepada panitia dan dibagikan ke peserta yang sebentar lagi bubar. Selanjutnya, kami benar-benar kerja gila, melipat Warta secepat-cepatnya supaya jangan sampai peserta pulang sebelum mendapatkan persembahan terbaik yang kami sajikan dengan hati yang penuh cinta....









Read More......

21 March 2009

"AKRAB" DULU, BARU KENALAN...



Kejadian ini terjadi hari Kamis kemaren, 19 Maret 2009. Tak seperti biasanya, hari itu saya mengendarai sepeda motor sendiri, tidak diantar. Karena sendiri, jadi saya memutuskan untuk pergi lebih awal. Sebelum jam tujuh, saya sudah berangkat. Dengan tak lupa memakai helm dan slayer untuk menutupi wajah. Walaupun masih pagi, namun udara di kota Pontianak tak lagi segar. Jumlah kendaraan yang semakin hari bertambah banyak, memberikan andil besar menciptakan polusi. Tak terhitung, berapa besar udara beracun yang kita hirup setiap harinya akibat dari asap-asap kendaraan itu. Belum lagi gas-gas beracun dari sember lainnya.... ah... jika ingat begitu, saya jadi pengin tinggal di kampung saja..

Pagi itu, kepala saya sedikit pusing. Maklum, malamnya saya bergadang sampai jam dua pagi, mengerjakan dua makalah sekaligus, plus satu buah laporan keuangan, yang harus dilaporkan siang nanti. Last minute, SKS, kejar tayang, ngebut, dan entah apalah istilah lainnya, untuk menyebut apa yang saya lakukan, yang jelas malam itu saya benar-benar lembur. Kebiasaan buruk memang. Saya menayadari itu dengan sesadar-sadarnya.
Tapi, walau saya tahu itu tak baik, tetap saja sangat sukar sekali untuk saya tinggalkan. Seorang sahabat, sering menegur kebiasaan tersebut. Namun, dengan berbagi alasan, saya selalu saja punya dalih untuk membela diri. Kadang saya juga jadi kewalahan sendiri, jika waktu semakin mepet. Apalagi bahan yang didapat belum mencukupi. Walau di kampus kami punya pepustakaan yang lumayan besar, namun jangan harap bisa mendapatkan apa yang kita cari dalam waktu singkat, apalagi kalau dalam keadaan buru-buru. Jika ingin mencari bahan di sana, paling tidak diperlukan waktu sedikitnya tiga hari, baru dapat sesuai harapan.
”Yun.... kite ni sebenarnye tak perlu berkeliling. Kite tinggal duduk jak di depan salah satu rak buku yang banyak tu. Satu rak jak!. Maka lihatlah apa yang bakal kite temui, di situ pasti ada buku Filsafat, buku Pendidikan, Ekonomi, Sastra, Tasawuf, Jurnalistik, mungkin juga buku-buku Motivasi dan buku-buku lainnya. Jadi tak perlu kite datang ke rak yang tepat, sesuai petunjuk yang ditempel di tiang tu....”. Kata saya beberapa waktu yang lalu, pada Yuni_teman satu kelas saya, saat kami kelelahan berkeliling selama satu jam, hanya untuk mencari satu bahan makalah saja.
”Nape pula gituk kak”. Tanyanya keheranan.
”Ye lah.... perpus kite ni kan unik. Tak macam perpus lain. Buku-buku di sini ni, pandai bergaul, die suke jalan-jalan ke rak sebelahnye. Kadang die lupa pulang”. Jawab saya. Yuni cuma tersenyum mesem mendengar ucapan tadi.

Saya terus memacu kendaraan dengan kecepatan sedang. Pagi seperti ini, biasanya banyak sekali pengendara motor yang ngebut tak tentu rudu. Dan jika buru-buru, bisa saja saya tak nyampai di kampus, tapi ke rumah sakit.
Di persimpangan Tanjung Raya, saya sedikit terpekik melihat pemandangan di depan. Keadaan jalan benar-benar tidak beraturan. Rambu lalu lintas/traffick light dan Polantas, tak lagi diperdulikan. Kendaraan bermotor, baik itu mobil pribadi, angkutan umum, truk, mobil kontainer dan sepeda motor, saling silang-menyilang untuk mendahului satu sama lain. Akibatnya, kemacetan panjang terjadi sampai kira-kira 500 meter.
Saya mulai resah melihat kondisi itu. Sejenak saya melirik ke jam digital di hape saya, menujukkan pukul 07.10. Saya cuma punya waktu 20 menit, lagi.
“Ya Allah, tolong ... saya tak mau telat…” guman saya dalam hati.
Semakin lama, jumlah kendaran semakin banyak. Saya terjebak di tengah-tengah mereka. Tak bisa maju, apalagi mundur. Dengan rem yang stand by di kaki dan tangan, saya terus berusaha menembus kemacetan itu. Saya tak boleh menyerah. Inilah perjuangan_yang Insya Allah akan berbuah manis nantinya.
Di sela-sela kekhawatiran, saya sempat melirik ke arah trotoar yang berada di sebelah kanan. Di sana, terlihat seorang gadis, ia mengenakan jilbab lebar warna krem, baju putih polos plus rok hitam_sedang melambai-lambai ke arah saya. Dari warna jaket almamater yang ia kenakan, saya bisa memastikan bahwa gadis tersebut pasti mahasiswa STAIN. Tapi siapa? Saya tidak bisa mengenalinya. Walaupun ragu, saya terus mengarahkan motor mendekatinya.
”Kak.... tunggu”. Kata gadis tersebut, dengan wajah sumringah, seperti baru saja menemukan seseorang yang telah lama ia cari.
Sayapun mengangguk, dan memberikan isyarat padanya agar segera naik ke motor. Tanpa berfikir panjang, iapun langsung duduk di belakang. Saya tetap saja tidak bisa mengingat siapa namanya? jurusan apa? dan pernah kenal di mana? bahkan saat kami sudah tak lagi terjebak macet (yang sampai hari ini tak saya ketahui penyebabnya) sekalipun, saya tetap tak mengenalinya. Untuk bertanya, saya rasa sangat tidak sopan. Dia_yang terlihat begitu akrab menyapa saya tadi, pasti akan sedikit tersinggung, jika tiba-tiba saya berkata seperti ini ”Maaf, adek siapa ya?. Atau ”Maaf, saye lupa, kita pernah kenalan di mana ya...?”. Ih.... walaupun perkataan itu (mungkin) sopan, tapi tetap saja akan menimbulkan kesan yang tidak mengenakkan untuknya, termasuk saya juga. Saya bisa merasakan, jika suatu saat, saya menyapa atau mengajak ngobrol seseorang yang saya yakin mengenalinya, sedangkan orang tersebut, cuma mengernyitkan dahi tanda kebingungan. Saya tak mau itu terjadi padanya. Pasti sangat memalukan!
Saya terus berfikit keras. ”Ya Allah, bantu saya.... siapa dia ya Allah...??”. doa saya dalam hati. Namun, sampai kami telah berada di persimpangan Flamboyan-Veteran- Gajah Mada, ingatan saya masih tetap saja tumpul. Saya tak menyerah. Lantas saya memutuskan untuk menyapanya saja, siapa tahu jika sudah ngobrol, saya akan ingat padanya.
”Tadi berangkat sama siapa? Kok bisa terdampar di trotoar si..” tanya saya sambil melepas slayer hitam yang menutupi wajah saya, lantas sedikit menoleh ke arahnya.
”Tadi tu... saye nunggu kawan kak. Cuma entah kenapa, dia ndak muncul-muncul”. Jawabnya terdengar agak canggung.
”O.... kakak kire tadi tu, naik oplet. Karena macet, jadi turun”. Kata saya kemudian.
”Tadak kak.....”. jawabnya singkat. Gadis itu tampak semakin canggung. Sikap akrab, yang tadi, tak lagi terlihat.
”Kok adek bise kenal ma kakak? Padahal, tadi kakak kan pake slayer, kaca helm juga ditutup”. Ujar saya sambil tersenyum ke arahnya.
”Itu lah die yang lucu tu kak, sebenarnye tadi saye tu ngire kakak ne kak Agus. Eh, pas saye naik, saye jadi heran sendiri, kok beda. Eh, ternyata saya salah orang”. Katanya lantas tertawa.
”Wai.... benarlah..??” Jawab saya kaget. Saya benar-benar tidak menduga hal itu.
”Iye kak.... kan kak Agus tu, suka ganti-ganti motor. Jadi saye tak heran, saat saye liat motor ”die” hari ni, beda lagi”.
”Ya ampuuun.... berarti tadi salah liat?”. sambil terus tertawa saya bertanya lagi padanya.
”Iye kak... udah lah ketawanye tu kak... malu saye ni... ”. Katanya. Tapi saya terus saja tertawa.
”Iye iye... bentar lagi lah ye berentinye... lucu ba...”. jawab saya.
”Eh, tapi... kakak kenal ndak ma kak Agus?”. tanyanya lagi.
”Agustina, yang anak Dakwah semester enam, tu kan? Kalau itu kakak kenal”. Jawab saya. Saya mengenali Agus, kami tergabung dalam salah satu organisasi intra kampus. Dulu, saat Musyawarah Besar (Mubes), kami pernah dipersaudarakan. Itu adalah trik senior, agar anggota baru dan lama, bisa akrab.
”Iye benar.... kak Agus itulah. Saye biase mang numpang ma die tu ”.
“O..... eh, tapi adek kenal nggak si ma kakak sebenarnye?“. Tanya saya kemudian. Akhirnya, saya punya kesempatan menanyakan hal itu..
“Tadak kak....“. jawabnya polos.
”Hahaha....... ”. Hanya itu yang terdengar kemudian. Saya benar-benar lega. Dalam hati saya bersyukur, berarti saya tak perlu merasa bersalah, karena tidak ingat siapa dia. Karena memang kami belum pernah kenal kok, bagaimana mau ingat.
Detik berikutnya kami berdua lantas kenalan. Ternyata gadis tersebut, bernama Salma. Ia kuliah di Jurusan Tarbiyah, PAI, semester II. Akan tetapi, yang membuat saya kembali tercengang dan kembali memikirkan lagi sikap ”cuek” saya selama ini adalah ternyata dia anggota LDK Matimsya, organisasi pertama yang saya ikuti saat saya berstatus mahasiswa. Selama ini, karena alasan aktif di UKM yang lain, saya jadi kurang silaturrahmi ke sana. Padahal, saya masuk dalam kepengurusan.
”Ya.... Allah..... segitu cueknya kah saya selama ini......”.

Read More......

Chat with Me

TENTANG SAYA

My Photo
MARISA SYAKIRIN
SILATRAHMI MEMBUAT KITA BISA HIDUP DIMANAPUN DAN KAPANPUN
View my complete profile

OBROLAN KITA