free html visitor counters

07 September 2009

Panik





Tahun ini, untuk kali yang kedua, kami kru WARTA LPM STAIN Potianak kembali mendapatkan kepercayaan dari panitia Orientasi Pengenalan Akademik (OPAK) 2009 untuk kembali meliput seluruh rangkaian kegiatan OPAK ’09 dari awal sampai akhir. Jadi selama lima hari, kami harus menerbitkan WARTA yang nantinya akan dibagikan kepada sekuruh peserta yang total berjumlah 405 orang.
Walaupun wartawan kami tampak masih canggung, maklum ini adalah liputan pertama mereka tanpa didampingi senior, setelah mereka dikukuhkan 26 April 2009 kemaren. Akan tetapi, mereka tampak bersemangat. Sangat bersemangat.
Hari pertama dan kedua dilewati dengan sukses. Warta sampai di tangan peserta tepat pada waktunya, yakni habis Dzuhur. Akan tetapi, tidak untuk hari yang ketiga.
“Bang Ari WARTA belum dicetak,” suara Kiki terdengar panik di seberang telfon. Kiki dan Ninda, hari itu mendapat tugas mengambil WARTA di percetakan, yang biasanya di handle oleh Ari dan Herianto.
Kami semua Romy, Ira, Iza, Ambar, Ari, Herianto (Lembu) dan aku yang saat itu sedang sibuk mengetik berita di kantor redaksi LPM, terkejut mendengar kabar dari Kiki barusan. Waktu itu, jam telah menunjukkan pukul 10.50 Wiba, seharusnya di jam segitu, WARTA sudah ada di Kantor redaksi dan siap dilipat dan diantar ke sekretariat BEM.
Ari langsung berinisiatif menelfon nomor Kiki. Tapi, tak sempat bicara, telfon langsung tulalit. Tak kehabisan akal, Ari kemudian kembali menghubungi nomor Ninda.
“Eh... ni hape Ninda... ditinggalkannye rupenye,” Ambar berkata sambil menujukkan hape butut type 2600 milik Ninda yang ternyata berada di tepi si kompi (komputer).
“Ya ampun, jadi gimanelah ne, hari dah siang dah ne, jam berape bise selesainye, kalo jam segini belum dicetak?,” ucapku.
Menurut informasi dari Kiki, Abah – orang yang selama ini kami percaya untuk mencetak WARTA dari sejak pagi telah keluar rumah, jadi Master serta kertas yang kami titipkan ke Putra Abah untuk percetakan, belum sampai di tangan laki-laki paruh baya tersebut dan yang lebih membuat kami panik adalah, Abah tidak membawa hape, jadi secara otomatis tidak bisa dihubungi sama sekali.
Kepanikan dan kekhawatiran begitu kuat terasa di kantor redaksi. Tambahan lagi, wartawan hari ini (Kamis) sedikit telat menyerahkan berita, belum lagi WARTA edisi khusus BEM, MPM, HMJ dan UKM belum selesai di layout. Aku sedikit pesimis untuk bisa menyelesaikan tugas hari itu. Namun, candaan dan tawa di kantor redaksi tak pernah berhenti, hal itu yang akhirnya memicu semangat para wartawan WARTA untuk terus melanjutkan tugas dan tanggungjawab hari itu.
Jam 14.25 Wiba Ari kembali menghubungi Abah, memastikan nasib WARTA selanjutnya. Kali ini alhamdulillah, Abah bisa dihubungi.
“Iye bah, klo jam tige atau empat gitu, boleh lah,” ucap Ari.
“Nong, jangan jam empatlah, jam tige jak,” protes Ambar.
“Iye, jam empat mane gak sempat, belom nak ngelipatnye agik,” sambutku.
“Ee.... masalah kecil bah, jangan nak dibesak-besakkan,” Heri memotong omelan kami, seperti biasa dengan gayanya yang cuek dan tatapan misteriusnya.
Tak ada yang berkomentar, menanggapi ucapan Heri barusan. Selanjutnya kami sibuk lagi dengan aktivitas masing-masing.
“Sape yang nak ngambil WARTA? Dah jam setengah empat ne?” Ambar mengingatkan.
Kantor redaksi kembali ribut untuk menentukan siapa yang bakal mengambil WARTA kali ini. Kiki dan Ninda yang tadinya dapat tugas itu, sedang mengetik berita, sedangkan wartawan lainnya tidak ada di tempat. Akhirnya sekali lagi Ari yang mengalah.
Setengah jam berikutnya, Ari datang membawa kardus warna hijau berisi tumpukan Warta. Kami yang saat itu masih memegang pekerjaan masing-masing segera berinsiatif melipat WARTA agar segera bisa diserahkan kepada panitia dan dibagikan ke peserta yang sebentar lagi bubar. Selanjutnya, kami benar-benar kerja gila, melipat Warta secepat-cepatnya supaya jangan sampai peserta pulang sebelum mendapatkan persembahan terbaik yang kami sajikan dengan hati yang penuh cinta....











Comments :

0 comments to “Panik”