free html visitor counters

21 March 2009

"AKRAB" DULU, BARU KENALAN...



Kejadian ini terjadi hari Kamis kemaren, 19 Maret 2009. Tak seperti biasanya, hari itu saya mengendarai sepeda motor sendiri, tidak diantar. Karena sendiri, jadi saya memutuskan untuk pergi lebih awal. Sebelum jam tujuh, saya sudah berangkat. Dengan tak lupa memakai helm dan slayer untuk menutupi wajah. Walaupun masih pagi, namun udara di kota Pontianak tak lagi segar. Jumlah kendaraan yang semakin hari bertambah banyak, memberikan andil besar menciptakan polusi. Tak terhitung, berapa besar udara beracun yang kita hirup setiap harinya akibat dari asap-asap kendaraan itu. Belum lagi gas-gas beracun dari sember lainnya.... ah... jika ingat begitu, saya jadi pengin tinggal di kampung saja..

Pagi itu, kepala saya sedikit pusing. Maklum, malamnya saya bergadang sampai jam dua pagi, mengerjakan dua makalah sekaligus, plus satu buah laporan keuangan, yang harus dilaporkan siang nanti. Last minute, SKS, kejar tayang, ngebut, dan entah apalah istilah lainnya, untuk menyebut apa yang saya lakukan, yang jelas malam itu saya benar-benar lembur. Kebiasaan buruk memang. Saya menayadari itu dengan sesadar-sadarnya.
Tapi, walau saya tahu itu tak baik, tetap saja sangat sukar sekali untuk saya tinggalkan. Seorang sahabat, sering menegur kebiasaan tersebut. Namun, dengan berbagi alasan, saya selalu saja punya dalih untuk membela diri. Kadang saya juga jadi kewalahan sendiri, jika waktu semakin mepet. Apalagi bahan yang didapat belum mencukupi. Walau di kampus kami punya pepustakaan yang lumayan besar, namun jangan harap bisa mendapatkan apa yang kita cari dalam waktu singkat, apalagi kalau dalam keadaan buru-buru. Jika ingin mencari bahan di sana, paling tidak diperlukan waktu sedikitnya tiga hari, baru dapat sesuai harapan.
”Yun.... kite ni sebenarnye tak perlu berkeliling. Kite tinggal duduk jak di depan salah satu rak buku yang banyak tu. Satu rak jak!. Maka lihatlah apa yang bakal kite temui, di situ pasti ada buku Filsafat, buku Pendidikan, Ekonomi, Sastra, Tasawuf, Jurnalistik, mungkin juga buku-buku Motivasi dan buku-buku lainnya. Jadi tak perlu kite datang ke rak yang tepat, sesuai petunjuk yang ditempel di tiang tu....”. Kata saya beberapa waktu yang lalu, pada Yuni_teman satu kelas saya, saat kami kelelahan berkeliling selama satu jam, hanya untuk mencari satu bahan makalah saja.
”Nape pula gituk kak”. Tanyanya keheranan.
”Ye lah.... perpus kite ni kan unik. Tak macam perpus lain. Buku-buku di sini ni, pandai bergaul, die suke jalan-jalan ke rak sebelahnye. Kadang die lupa pulang”. Jawab saya. Yuni cuma tersenyum mesem mendengar ucapan tadi.

Saya terus memacu kendaraan dengan kecepatan sedang. Pagi seperti ini, biasanya banyak sekali pengendara motor yang ngebut tak tentu rudu. Dan jika buru-buru, bisa saja saya tak nyampai di kampus, tapi ke rumah sakit.
Di persimpangan Tanjung Raya, saya sedikit terpekik melihat pemandangan di depan. Keadaan jalan benar-benar tidak beraturan. Rambu lalu lintas/traffick light dan Polantas, tak lagi diperdulikan. Kendaraan bermotor, baik itu mobil pribadi, angkutan umum, truk, mobil kontainer dan sepeda motor, saling silang-menyilang untuk mendahului satu sama lain. Akibatnya, kemacetan panjang terjadi sampai kira-kira 500 meter.
Saya mulai resah melihat kondisi itu. Sejenak saya melirik ke jam digital di hape saya, menujukkan pukul 07.10. Saya cuma punya waktu 20 menit, lagi.
“Ya Allah, tolong ... saya tak mau telat…” guman saya dalam hati.
Semakin lama, jumlah kendaran semakin banyak. Saya terjebak di tengah-tengah mereka. Tak bisa maju, apalagi mundur. Dengan rem yang stand by di kaki dan tangan, saya terus berusaha menembus kemacetan itu. Saya tak boleh menyerah. Inilah perjuangan_yang Insya Allah akan berbuah manis nantinya.
Di sela-sela kekhawatiran, saya sempat melirik ke arah trotoar yang berada di sebelah kanan. Di sana, terlihat seorang gadis, ia mengenakan jilbab lebar warna krem, baju putih polos plus rok hitam_sedang melambai-lambai ke arah saya. Dari warna jaket almamater yang ia kenakan, saya bisa memastikan bahwa gadis tersebut pasti mahasiswa STAIN. Tapi siapa? Saya tidak bisa mengenalinya. Walaupun ragu, saya terus mengarahkan motor mendekatinya.
”Kak.... tunggu”. Kata gadis tersebut, dengan wajah sumringah, seperti baru saja menemukan seseorang yang telah lama ia cari.
Sayapun mengangguk, dan memberikan isyarat padanya agar segera naik ke motor. Tanpa berfikir panjang, iapun langsung duduk di belakang. Saya tetap saja tidak bisa mengingat siapa namanya? jurusan apa? dan pernah kenal di mana? bahkan saat kami sudah tak lagi terjebak macet (yang sampai hari ini tak saya ketahui penyebabnya) sekalipun, saya tetap tak mengenalinya. Untuk bertanya, saya rasa sangat tidak sopan. Dia_yang terlihat begitu akrab menyapa saya tadi, pasti akan sedikit tersinggung, jika tiba-tiba saya berkata seperti ini ”Maaf, adek siapa ya?. Atau ”Maaf, saye lupa, kita pernah kenalan di mana ya...?”. Ih.... walaupun perkataan itu (mungkin) sopan, tapi tetap saja akan menimbulkan kesan yang tidak mengenakkan untuknya, termasuk saya juga. Saya bisa merasakan, jika suatu saat, saya menyapa atau mengajak ngobrol seseorang yang saya yakin mengenalinya, sedangkan orang tersebut, cuma mengernyitkan dahi tanda kebingungan. Saya tak mau itu terjadi padanya. Pasti sangat memalukan!
Saya terus berfikit keras. ”Ya Allah, bantu saya.... siapa dia ya Allah...??”. doa saya dalam hati. Namun, sampai kami telah berada di persimpangan Flamboyan-Veteran- Gajah Mada, ingatan saya masih tetap saja tumpul. Saya tak menyerah. Lantas saya memutuskan untuk menyapanya saja, siapa tahu jika sudah ngobrol, saya akan ingat padanya.
”Tadi berangkat sama siapa? Kok bisa terdampar di trotoar si..” tanya saya sambil melepas slayer hitam yang menutupi wajah saya, lantas sedikit menoleh ke arahnya.
”Tadi tu... saye nunggu kawan kak. Cuma entah kenapa, dia ndak muncul-muncul”. Jawabnya terdengar agak canggung.
”O.... kakak kire tadi tu, naik oplet. Karena macet, jadi turun”. Kata saya kemudian.
”Tadak kak.....”. jawabnya singkat. Gadis itu tampak semakin canggung. Sikap akrab, yang tadi, tak lagi terlihat.
”Kok adek bise kenal ma kakak? Padahal, tadi kakak kan pake slayer, kaca helm juga ditutup”. Ujar saya sambil tersenyum ke arahnya.
”Itu lah die yang lucu tu kak, sebenarnye tadi saye tu ngire kakak ne kak Agus. Eh, pas saye naik, saye jadi heran sendiri, kok beda. Eh, ternyata saya salah orang”. Katanya lantas tertawa.
”Wai.... benarlah..??” Jawab saya kaget. Saya benar-benar tidak menduga hal itu.
”Iye kak.... kan kak Agus tu, suka ganti-ganti motor. Jadi saye tak heran, saat saye liat motor ”die” hari ni, beda lagi”.
”Ya ampuuun.... berarti tadi salah liat?”. sambil terus tertawa saya bertanya lagi padanya.
”Iye kak... udah lah ketawanye tu kak... malu saye ni... ”. Katanya. Tapi saya terus saja tertawa.
”Iye iye... bentar lagi lah ye berentinye... lucu ba...”. jawab saya.
”Eh, tapi... kakak kenal ndak ma kak Agus?”. tanyanya lagi.
”Agustina, yang anak Dakwah semester enam, tu kan? Kalau itu kakak kenal”. Jawab saya. Saya mengenali Agus, kami tergabung dalam salah satu organisasi intra kampus. Dulu, saat Musyawarah Besar (Mubes), kami pernah dipersaudarakan. Itu adalah trik senior, agar anggota baru dan lama, bisa akrab.
”Iye benar.... kak Agus itulah. Saye biase mang numpang ma die tu ”.
“O..... eh, tapi adek kenal nggak si ma kakak sebenarnye?“. Tanya saya kemudian. Akhirnya, saya punya kesempatan menanyakan hal itu..
“Tadak kak....“. jawabnya polos.
”Hahaha....... ”. Hanya itu yang terdengar kemudian. Saya benar-benar lega. Dalam hati saya bersyukur, berarti saya tak perlu merasa bersalah, karena tidak ingat siapa dia. Karena memang kami belum pernah kenal kok, bagaimana mau ingat.
Detik berikutnya kami berdua lantas kenalan. Ternyata gadis tersebut, bernama Salma. Ia kuliah di Jurusan Tarbiyah, PAI, semester II. Akan tetapi, yang membuat saya kembali tercengang dan kembali memikirkan lagi sikap ”cuek” saya selama ini adalah ternyata dia anggota LDK Matimsya, organisasi pertama yang saya ikuti saat saya berstatus mahasiswa. Selama ini, karena alasan aktif di UKM yang lain, saya jadi kurang silaturrahmi ke sana. Padahal, saya masuk dalam kepengurusan.
”Ya.... Allah..... segitu cueknya kah saya selama ini......”.

Read More......

11 March 2009

SAAT KEPALA SAYA JADI ADONAN.....



Hari Selasa, 10 Maret 2009, dengan penuh semangat saya berangkat ke kampus tercinta. Ini adalah hari pertama kami masuk kuliah, setelah libur akhir semester selama kurang lebih 1 bulan. Tak terasa, ternyata sekarang udah menginjak semester empat. Wuih, tak terbayang..... cuma sekitar empat semester ke depan *maunya si gitu...* saya udah tak berstatus mahasiswa lagi, mungkin jadi konselor sukses, penulis hebat, peneliti, atau malah mahasiswa S2 Psikologi.... (khayalan tingkat tinggi, mumpung mimpi masih gratis... ;-P).


Hati sudah sangat rindu dengan kampus. Satu bulan jadi ”ibu rumah tangga”, capek juga euy....
Pas nyampai di kampus, hanya beberapa orang saja yang sudah datang. Biasa, syndrome hari pertama kuliah, pasti banyak yang datang telat, bahkan banyak juga yang tidak datang sama sekali....
Menurut jadwal yang sudah tersebar, hari itu kami ada mata kuliah Filsafat Dakwah dan Psikologi Dakwah. Dan menurut jadwal juga, kami masuk jam 07.30 tepat. Namun, sampai jam di hape saya menunjuk angka 08.00, sama sekali tidak ada tanda-tanda yang mengisyaratkan akan datangnya dosen.
Tapi yah.... kami tetap asyik-asyik saja ngobrol, ’kan udah lama tak ketemu, jadi banyak cerita yang harus diceritakan bersama kawan-kawan di kelas.
Jam 08.20, saya mengeluarkan hape dari kocek. Eitt..... ada satu panggilan tak terjawab rupanya. Penasaran, saya periksa, kira-kira siapa orang yang menghubungi saya barusan.
Ternyata, panggilan tersebut dari pak Gito. Beliau adalah ketua Prodi BPI, yang mengampu mata kuliah Filsafat Dakwah, yang harusnya masuk jam 07.30 tadi.
Waduuh.... jadi nggak enak. Pasti tadi beliau bingung dan heran, kanapa mahasiswa yang disayangi beliau ini, tak mengangkat telfon..... ;-)
Tanpa fikir panjang, saya langsung mengirim SMS pada beliau, menanyakan perihal apa, sehingga beliau menghubungi saya, sekalian minta maap karena tak dengar suara hape tadi...

”Kak, janganlah sms, nelfon jak.... tak enaklah.....” ujar Fatmi, salah satu teman saya di kelas, yang selalu berpenampilan rapi itu.

”Eh, ape salahnye, tak pape be.... nanti kan, kalo mang benar-benar perlu, pasti bapak nelfon balik. Bapak kan sayang ma kakak, hehehe…..” jawab saya dengan lagak narsis, yang langsung disambut bibir monyong, dan terikan ”Huuuuuuu.....” secara kompak dari kawan-kawan.

”Assalamualaikum pak.... maaf, tadi hape saye jauh, jadi tak kedengaran. Ada apa ya pak?”. begitulah bunyi SMS yang saya kirimkan. (sopan gak sih?)
Tak lama, ada balasan dari Pak Gito.

”Waalaikumsalam. Hari ini Filsafat Dakwah belum masuk. Saya ada acara pembukaan pembekalan PPL. Maaf dan Terima kasih”

Saya langsung menyampaikan informasi tersebut di depan kelas. Kebanyakan mereka, tampak girang dengan info barusan. Yah, sekali lagi, ini adalah syndrome hari pertama kuliah, biasanya mahasiswa kebanyakan belum semangat belajar... (padahal, setelah kuliah aktifpun, kadang juga begitu....)

”Terus, bagaimane ne kak, kite pulang ke ndak? Kire-kire, Abah masuk ndak ye?” Haikal, sang ketua kelas, mengajukan pertanyaan.
Abah adalah panggilan kami semua untuk pak Dulhadi, ketua Jurusan Dakwah, yang juga mengampu semua mata kuliah yang berbau-bau Psikologi.

”Kaya’nye si, Abah pon tak masuk lah... pak Gito yang Ka-Prodi aja tak masuk, apalagi Ketua Jurusan” ujar saya diplomatis, seperti pengambil kebijakan di DPR sana. Banyak yang senang dengan keputusan tersebut, walaupun belom tentu itu benar.

Tak lama berselang, Sarpini, datang dari arah perpustakaan. Dia bukan dari perpus, tapi dari sampingnya, yakni kantin bu Karim, kantin kebangsaan anak STAIN.
O iya, Sarpini, jika dibaca sekilas dari namanya, banyak orang mengira itu nama cewek. Padahal, ia adalah seorang cowok tulen. Tak terhitung sudah, daftar dosen yang keliru, jika sedang mengabsen, pas manggil namanya, pandangan dosen tersebut pasti mengarah ke arah kami, kaum cantik-cantik di kelas. Padahal di pojok yang tak terlihat, Sarpini udah pegal-pegal mengangkat tangan, sejak bermenit-menit lamanya.
Sarpini tadi, datang sekonyong-konyong membawa sekantong benda_yang belakangan saya ketahui ternyat berisi telur dan tepung terigu satu kilo.

”Kak, kite ngerjekan Topan yuk.... ” ajak nya. Topan, salah satu penghuni kelas kami berulang tahun tepat hari itu. Awalnya saya setuju dengan usul itu, namun akhirnya, saya tidak jadi bergabung. Karena tiba-tiba, perasaan saya tak enak. Saya yakin tepung ma telur tersebut, tak hanya buat Topan, tapi juga (mungkin) buat saya. Bukan tanpa alasan saya berfikir seperti itu. Walaupun sudah lewat, dua hari sebelumnya, adalah hari ulang tahun saya.
Saya langsung 'melarikan' diri ke Jurusan. Rencananya setelah itu, mau langsung ke kantor redaksi, karena hari itu, berdasarkan kesepakatan, kami akan ada rapat redaksi untuk penerbitan Warta selanjutnya.
Namun, langkah saya terhenti, karena Erika, mendesak saya untuk menemaninya ke perpustakaan, mengembalikan buku. Walaupun sedikit curiga, tapi saya mau saja ikut dengannya.
Erika terus meyakinkan saya, bahwa tidak akan terjadi apa-apa.
Saya_dengan langkah yang maju mundur, mendekati kelas kami, yang terlihat sudah sangat berantakan, dengan pecahan telur dan taburan tepung di lantai. Rata-rata, tangan mereka yang ada di kelas memegang segenggam tepung.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, saya lihat Topan udah ”bonyok” dikerjai kawan-kawan.
Melihat saya di depan kelas, Sarpini melangkah mendekat. Saya langsung bisa membaca gelagat tidak beres tersebut. Dengan sekuat tenaga, saya pun lari. Namun, dia tak putus asa, dengan langkah kakinya yang pastinya sedikit lebar, karena dia pakai celana, dia terus mengejar.
Akhirnya saya benar-benar kelelahan. Sarpini makin dekat, dan saya pun harus pasrah, saat dia melempar telur tepat mengenai kepala saya.
Saya mau tidak mau, harus rela, menyaksikan jilbab hitam yang saya gunakan berlumur telur dan tepung. Dalam kondisi seperti ini, mana bisa saya protes, apalagi marah. Selanjutnya saya langsung ke WC, membersihkan jilbab yang sudah seperti adonan kue kering (tanpa resep) tersebut.
Saya mengira, bau amis telur akan segera hilang setelah dibersihkan dengan air. Rupanya, sebaliknyalah yang terjadi, bau yang bikin perut terasa dililit-lilit tersebut malah makin menjadi. Saya serasa sedang keramas dengan sampo yang terbuat dari kocokan telur. Kepala saya langsung puyeng, isi perut meronta-ronta dan terus mendesak untuk segera keluar. Syukur tak sampai semaput. Salah seorang mahasiswi yang kebetulan lewat, hanya terheran-heran, menyaksikan saya terhoek-hoek, sambil memegang perut. Mungkin dia mengira saya adalah ibu muda yang lagi ngidam kali... (Hayooo.... mana suaminya...Wkakakak.... )
Karena tak tahan, saya pun menghubungi Erika, mengajak ia pulang ke kost-an tempat ia tinggal, yang berada di belakang kampus, untuk mandi dan ganti baju. Saya tidak bisa langsung pulang, karena masih ada dua agenda yang menunggu di kampus. Karena tak bawa baju ganti, Erika pun dengan senang hati meminjamkan bajunya untuk saya pakai.

Pelajaran berharga yang saya dapat adalah, ide kurang baik, yang kita lontarkan untuk mengerjai orang lain, cepat atau lambat, itu hanya akan kembali pada diri kita sendiri. (sekarang saya mau buat pengakua: Sebenarnya yang pertama kali mengusung ide nengerjai tiap orang yang lagi ulang tahun di kelas kami, tercetus dari mulut saya sendiri..... Hihihihih....) Allah itu, memang maha adil kan?? Seperti kata Andrea Hirata dalam novel Edensor-nya, ”ALLAH TAHU, TAPI MENUNGGU!!”. Inilah yang saya dapat, dari ide konyol tersebut.

Terima kasih buat Allah, yang telah memberikan saya pelajaran berharga ini. Makasih juga buat semua keluarga, serta sahabat-sahabat terbaik saya semuanya, yang sudah begitu menyayangi saya, walaupun mungkin saya belum pantas mendapatkan itu.

Terakhir, boleh dong minta tips dari orang yang sudi baca tulisan ini, bagaimana cara menghilangkan bau amis sisa telur di pakaian dengan tuntas, tanpa meninggalkan jejaknya sedikitpun....??? makasih semuanya.....

Read More......

10 March 2009

SINGGAH DIRUMAH RASULULLAH *tayang ulang*



Dalam Rangka Maulidurrasul SAW

Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar. Sesibuk apapun kita hari ini, luangkanlah sedikit waktu, untuk sekedar ’mampir’ sebentar ke rumah satu-satunya sosok yang paling layak untuk dijadikan idola sepanjang masa, Rasulullah SAW.
Kita akan kembali keratusan tahun yang sudah berlalu. Yang di sana kita bisa ’bertamu’ bahkan ’bertemu’ dengan sang Kekasih Allah tersebut. Ini bukan bualan, karena kita akan mengunjungi beliau melalui huruf dan kalimat. Kita akan memasuki rumah beliau, memperhatikan tingkah laku beliau, mendengar perkataan beliau, lalu mencoba mencari perbandingan, dan mencoba mengikutinya, karena beliau memang layak ditiru.

Saat kita mengetuk pintu rumah beliau, lalu mengucap salam, perhatikan bagaimana cara beliau menyambut kedatangan kita. Kita pastinya disambut dengan wajah yang cerah, walaupun sebenarnya beliau sedang menghadapi beban besar. Lalu kita dipersilahkan duduk, diruang tamu yang sangat sederhana, tanpa perabotan apa-apa, dengan alas satu-satunya yang beliau miliki, itupun telah sobek di sana-sini. Lalu bandingkan dengan keadaan di rumah kita hari ini!

Beliau akan mengajak kita mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Saat kita tidak sengaja lalu membuka aib saudara kita sendiri, perhatikan bagaimana beliau menegur kita secara santun, dengan cara mengalihkan pembicaraan. Dengan begitu, kita jadi tahu, bahwa ada yang salah dari lisan kita, tapi tak sampai membuat kita tersinggung. Bandingkan dengan apa yang kita bicarakan di setiap kesempatan, dan saat pembicaraan itu telah ngelantur kemana-mana, apa yang kita lakukan?.

Saat jam makan siang telah sampai, perhatikan bagaimana beliau berusaha menyenangkan hati tamunya. Walaupun di dapur beliau saat itu, persedian makanan amat sedikit. Namun beliau tak mengeluh akan kedatangan kita di saat yang tidak tepat itu. Bahkan beliau menjamu kita layaknya tamu agung, walaupun dengan begitu, artinya beliau dan keluarganya harus menahan lapar. Lalu bandingkan dengan ketakutan kita pada kekurangan yang kita miliki sekarang, sehingga kadang membuat kita segan untuk sedikit membahagiakan orang lain!

Beberapa saat sebelum masuk waktu shalat, perhatikan bagaimana beliau telah sibuk mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Sang Penguasa setiap makhluk, dengan penuh semangat, wajah berseri, dan dada berdebar antar bahagia dan takut, menanti perjumpaan dengan-Nya. Lalu bandingkan, dengan keadaan hati kita, saat panggilan itu datang!.

Saat shalat di mulai, perhatikan bagaimana beliau sangat manikmati apa yang beliau baca, perhatikan bagaimana saat beliau berdoa, sambil berurai air mata, memohon ampun seolah beliau adalah hamba yang paling berdosa. Padahal, Allah telah menjamin dosa-dosa beliau di masa lalu, sekarang dan masa depan telah Allah ampunkan. Lalu bandingkan dengan kesombongan kita, kualitas shalat dan nilai doa yang kita panjatkan!.

Saat malam menjelang, beliau akan mempersilahkan kita menggunakan selimut yang beliau miliki, dan itu bermakna, malam ini beliau akan tidur tanpa selimut. Kita akan tidur dengan nyenyak sekali. Dan saat kita terbangun tengah malam, kita akan mendapati tempat tidur beliau telah kosong, saat kita mencari kemana beliau saat itu, kita akan mendapati beliau sedang sujud, dan kembali berdoa dengan berurai air mata, memohon ampunan-Nya. Lalu bandingkan akhir dari malam-malam yang kita lalui di rumah kita!.
Saat pagi datang, beliau sambut dengan penuh semangat, dan bersyukur karena telah diberikan kesempatan satu hari lagi ada di muka bumi ini. Walaupun tugas berat telah menunggu, beliau siap menghadapinya dengan hati ikhlas, tanpa terdengar sedikitpun keluh kesah dari lisan mulia beliau. Terus, bandingkanlah dengan sikap kita setiap menghadapi hari baru bersama beban yang mengikutinya!.

Sekarang saatnya kita untuk pamit, kembali ke kehidupan kita hari ini. Setelah sehari berada di rumah yang penuh berkah tersebut, bandingkan semuanya dengan hidup kita hari ini. Kita yang kurang bersyukur, kurang menghargai orang di sekeliling kita, kita yang sering lalai, yang sombong dan kita yang banyak mengeluh menghadapi beban hidup. Apakah kita akan terus seperti itu, atau mulai hari ini, kita bangun suatu tekad, yakni bagaima seharusnya kita berfikir, bersikap, dan berbuat pada hari esok yang akan Allah percayakan pada kita untuk menghadapinya lagi.
Read More......

SOK TAHU



Hari Minggu, kami, peserta Pelatihan Menulis Kisah Perjalanan, yang diadakan Malay Corner STAIN Pontianak, berangkat ke desa Durian. Berjarak kurang lebih 20 KM dari kota Pontianak. Untuk sampai di lokasi, bisa ditempuh menggunakan sepeda motor, kira-kira 30-45 menit. Desa tersebut masuk wilayah kabupaten Kubu Raya.
Sejak seminggu sebelumnya, kami memang merencanakan untuk turun ke lapangan. Menuliskan perjalanan kami tersebut dalam bentuk cerita. Lalu hasilnya akan kami diskusikan pada pertemuan berikutnya.

Sebelum memutuskan untuk berangkat ke desa Durian ini, sebenarnya panitia menawarkan berangkat ke desa Punggur. Namun belakangan P3M STAIN Pontianak yang diketuai oleh pak Yapandi Ramli, mengusulkan untuk berangkat ke desa Durian saja. Desa tersebut ditinggali oleh mayoritas suku Madura. Dan ada sebagian merupakan korban kerusuhan antar etnis, yang terjadi di kabupaten Sambas tahun 1999 silam. Selain itu, desa tersebut merupakan desa binaan STAIN Pontianak.

”Kita berangkat nanti sore, jam empat tepat. Harus jam empat” terang pak Yusriadi, mengingatkan kami semua.
Pak Yus, begitu ia biasa disapa, adalah ketua panitia. Beliau memang sangat disiplin dengan yang namanya waktu. Beliau mengampu beberapa mata kuliah di jurusan Dakwah dan Syariah. Jika ada mahasiswa yang datang terlambat, apalagi jika tidak bisa memberikan penjelasan yang meyakinkan beliau, maka jangan harap mahasiswa tersebut bisa mengikuti mata kuliah hari itu. Agak keras memang.

”Nanti tiap orang akan mengumpulkan data sesuai dengan bidang pendidikan mereka masing-masing”. kata pak Yus lagi, menjelaskan.

”Rika berarti nanti kite tadak satu kelompok lah ni... tapi bahan kite kan same, bise gak kite tukar-tukar nanti”. Ujar saya yang diiringi anggukan oleh Erika, yang duduk di samping kanan saya. Erika merupakan salah satu sahabat baik saya. Di kampus, kami berada di kelas yang sama, dan sama-sama aktif di LPM STAIN dan HMJ Dakwah. Salah seorang teman di kampus pernah berkomentar begini:
”Erika ma Icha memang tidak bisa dipisahkan. Di mana ada Icha, pasti di situ ada Erika. Begitu juga sebaliknya”.
Entahlah mengapa komentar seperti itu bisa keluar. Padahal kenyataan yang terjadi tidak benar sepenuhnya. Buktinya, dalam organisasi ekstra kampus, kami berbeda. Erika aktif di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), sedangkan saya di PII (Pelajar Islam Indonesia). Tuuh... beda khan???

Balik ke kegiatan pelatihan.
Di desa Durian nanti, kami dibagi ke dalam empat kelompok, tiap kelompok berjumlah 6 orang. Saya masuk dalam kelompok dua, menururt panitia, kami akan menginap di rumah pak Satim. Kelompok kami terdiri dari pak Ismail Ruslan, yang akan menulis tentang perekonomian masyarakat di sana, Hisbul Maududi, Martina dan Didi darmadi, tentang Linguistik, Indasah tentang pendidikan, dan saya tentang Keagamaan dan Psikologi.

”Kak, tak biselah Dedek minta sabun neh, ternyata kite tak satu kelompok” ujar Isminarti.
Isminarti adalah mahasiswa Tarbiyah, Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI), semester VI, di STAIN Pontianak. Kami terbilang cukup akrab, bahkan sudah seperti saudara. Dulu, sebelum saya pindah, kami tinggal satu kost-kostan, di jalan Veteran.
Mendengar perkataan Ismi, saya hanya tersenyum. Sehari sebelumnya, kami berdua sempat belanja bersama, mencari barang-barang keperluan untuk berangkat ke desa Durian. Saya sempat menyarankan padanya untuk membawa sabun cair saja, agar lebih praktis.

”Minta ma kakak aja deh, itu jauh lebih praktis”. Guraunya, sambil tersenyum.

Saya setuju dengan usul yang ia sampaikan. Waktu itu, saya sama sekali belum tahu-menahu tentang tekhnis di lapangan seperti apa. Maklum, ini adalah pengalaman pertama saya, mengikuti perjalanan penelitian bersama dosen. Menginap lagi. Sebelumnya, saya sempat mengira, kami akan disatukan dalam satu kelompok, dan menginap di rumah yang sama.

”Eh, Is, Indasah itu, siape si?”. Tanya saya.

”Indasah tu, Kete’, be kak” jawab Ismi spontan.

Saya diam sejenak. Saya mengenal Kete’, dia adalah sahabat baik Ismi. Mereka satu kelas. Selain dipanggil Kete’, dia juga biasa dipanggil dengan sebutan Indah. Sebenarnya, saya lebih suka dengan panggilannya yang terakhir. Namun, karena hampir semua orang memanggil Kete’, nama Indah jadi terasa asing di telinga saya. Entah apa yang melatarbelakangi timbulnya panggilan itu.

”O.... die rupenye. Emangnye die ikut ke nante?. Nape sekarang die tak datang?“ tanya saya lagi, di kepala saya sudah muncul sebuah ide.

”Iye, nanti die ikut kok, pagi ni die ade acara kak, jadi tak bise ikot“. Terang Ismi.

“Eh Is, bagos Iis tukar kelompok jak ma Kete’. Is same kakak, Kete’ tukar ke kelompok satu, ma Ambar dan Erika, biar kite bise bekongsi sabun” ucap saya akhirnya, sambil lebih mendekat ke arah Ismi. Ismi terlihat sempat ragu dengan ide saya barusan, namun kemudian bisa diterimanya.

”Tapi, kakak yang bilang ma pak Yus ye....”. Ujar Ismi.

”Itu mah gampang, yang penting Ismi maok jak dulu....”. Potong saya.

***
Pembagian kelompok, yang dilanjutkan dengan sedikit pengarahan oleh panitia, selesai jam 13.10 menit. Kami bergegas menuju masjid Syahid, untuk menunaikan shalat dzuhur, yang sempat telat selama satu jam.
Selesai shalat, saya langsung ke kantor redaksi LPM, yang terletak di lantai dua, gedung MAS Syahid. Kami lebih senang menyebutnya kantor redaksi, ketimbang sekretariat. Saya ingin istirahat sejenak, sambil menunggu Ambar_sahabat baik saya, belanja keperluan perjalanan, dan untuk bekal Siti, adiknya selama ditinggal. Dalam perjalanan kali ini, kami berdua sepakat untuk menggunakan motor abang saya.
Sekitar satu setengah jam berikutnya, Ambar sampai di kampus. Waktu benar-benar terasa mencekik leher. Bayangkan, kami hanya punya waktu kurang lebih satu jam untuk bersiap-siap. Perut udah keroncongan sejak tadi, di rumah, tak ada makanan yang bisa langsung dimakan. Dan itu berarti, kami harus masak dahulu. Belum lagi perjalanan dari kampus ke rumah saya yakni di Tanjung Hulu dan sebaliknya, memakan waktu paling tidak sekitar setengah jam. Beruntung hari sudah siang, jadi jalanan tidak terlalu padat, karena jam segitu, pegawai kantor dan anak sekolah tidak lagi padat di jalan. Tak terbanyangkan jika pagi hari, jangan ditanya berapa panjang antrian yang harus kami lewati.
Begitu sampai di rumah, kami langsung masak seperti tukang ojek yang lagi mengejar setoran. Tak peduli seperti apa rasanya, yang penting kami tahu masakan kami tidak mentah, itu saja. Tepat jam empat, akhirnya ”kebut-kebutan” kami berdua, sampai ke finishnya.. Dan kami siap berangkat, dengan ngebut lagi tentunya.

”Mbar, kite telat neh. Jangan-jangan cume kite bedua jak yang belom datang. Malulah kite ne, kalo’ semua orang nunggu kite bedua jak”.

”Iye, pasti kite diolok kena bapak-bapak tu” sahut Ambar.

”Waduuh, malu lah kite ne..., apalagi kalo pak ganteng udah datang duluan. Iih... kan nggak enak. Eh, tahu ndak, dari tadi saye tuh deg-degan neh, kan nanti satu kelompok ma dia... hehehheh... ”.
Pak ganteng yang saya maksud adalah salah satu dosen kami. Sebagian besar mahasiswi, termasuk saya, menyukai beliau. Selain karena orangnya memang ganteng., dia juga baik ramah, dan pinter. ”Sayang udah ada istri” komentar salah seorang teman saya dulu.

“Heeh.... Dasar, centil!. Tak pape, cam mane gak, kite tak sengaje be.... eh, Cha, telat-telat gak, tapi janganlah bawa motor tu laju sangat, Ambar maseh mau nyampai desa Durian tau..!”. Tegur Ambar.

”Iye be, saye tahu, belom nikah juga kan? Tenang jak, tadak be laju amat. Sedang-sedang jak ne”. Goda saya, yang langsung disambut dengan tawa kami berdua.

***

Pukul 04.13, akhirnya kami selamat sampai di kampus. Di pendopo yang terletak di depan perpustakaan, sudah banyak peserta yang ngumpul, dengan bawaan masing-masing. Kamipun langsung bergabung dengan mereka.

”Alhamdulillah Mbar, ternyata kite bukan termasuk orang terakhir yang ditunggu” ujar saya, sambil mengatur nafas, dan meletakkan ransel serta helm di kursi. Beberapa menit berselang, datang bang Tino dan Ismi, lalu disusul Indasah.
Sambil menunggu yang belum datang, kami habiskan dengan bergurau. Tak lama, pak Ibrahim dan pak Yus manghampiri kami.

”Masih berape orang lagi yang belum datang”? Tanya mereka kemudian.

”Tinggal bu Jun dan bu Fatma jak kaya’ nye pak...”. sambut Ambar.

Lima menit berikutnya, orang yang kami tunggu-tunggu akhirnye datang. Kedatangan bu Jun dan Bu Fatma, disambut dengan gurauan oleh kami semua. Karena semua peserta telah hadir, kamipun segera berangkat, setelah sebelumnya tak lupa diabsen oleh masing-masing ketua kelompok.

”Cepatlah Ca, orang-orang udah jalan tu. Ambar tak mau di belakang ye, tak seru...” desak Ambar.
Semua orang, sudah berada dia atas motor mereka masing-masing, dan siap berangkat. Saya segera menstarter Honda Supra X, keluaran tahun 2003, yang akan menjadi pengantar setia kami dalam perjalanan tersebut.

”Iye, tenang jak, nanti kite susul be orang-orang tu. Ambar kan naik motor ma pembalap, jadi jangan takut ketinggalan. Bile perlu kite yang di depan, jadi navigator”. ujar saya meyakinkan Ambar.

”Wuih, jangan!. Kalo kite yang jadi kepala jalan, bise-bise kite semua tak nyampai-nyampai pula...” kata Ambar yang lantas diiringi tawa.
Kami berdua pun langsung memacu sepeda motor. Satu-satu orang-orang yang tadinya berada di depan, kami lewati.

”Tuu liat kan, kite udah di depan dah. Sekarang Ambar bilang, mau di depan siape age’ ha....?”.

”Hehehe........ Udah, cukup dah....” kata Ambar akhirnya.
Selama perjalanan, kami tak habis-habisnya bergurau. Ada-ada saja yang kami jadikan bahan tertawa.
Sampai di perempatan jalan A. Yani, yang juga merupakan batas antara kota Pontianak dengan kabupaten Kubu Raya, kami behenti sejenak karena traffic light sedang menunjukkan warna merah.

”Cha, cobe liat ke depan tu, tade’, Ambar kire, pohon itu tu, emang tumbuh di jalan. Heran gak Ambar liatnye, bile masa pula pohon tu ade di situ? Eh, ternyate ade pick up yang bawa.”. Seloroh Ambar, sambil menunjuk ke arah rimbunan pohon hias yang sangat subur, ”tumbuh” di tengah jalan, tepat di depan kami.

”Iye, tadi saye pon ngire gituk gak... hampir jak saye mau bilang, orang ne kaya’ ndak ade kerjaan jak, nanam pohon di jalan, udahlah jalan di sini ne sempit, jadi makin sempit lah...” sambung saya.

Kami terus memacu laju kendaraan. Sesekali kami menyalip, dan sesekali pula kami yang didahului. Kondisi jalan di sana yang masih cukup baik, dan kendaraan yang lalu lalang tidak terlalu ramai, membuat perjalanan kami tidak mengalami kesulitan yang berarti. Di samping kiri-kanan kami, masih terdapat banyak pohon. Karena jalan ini masih baru, rumah-rumah penduduk belum banyak berdiri. Kondisi ini membuat, udara yang kami hirup sepanjang jalan masih terasa sangat alami. Benar-benar tersa di kampung.

”Cha, kalo’ liat jalan ne, Ambar jadi ingat ma jalan menuju kampung Ambar. Jadi pengin pulang neh”. Ujar Ambar sambil menerawang. Kampung Ambar berada di kabupaten Sambas, tepatnya di Satai.
”Kangen tuh.... ltu lah, siapa suruh tinggal di pedalaman, jadi cume bise pulang satu tahun sekali. Cobe macam kame’ ne, tiga bulan sekali bise pulang” Saya menggodanya.
”Ih, macam mane gak.... tapi Ambar tak menyesal kok, tinggal di sana” balas Ambar. Dan kami terus tertawa dan bergurau.
***

Kurang lebih 45 menit berikutnya, akhirnya kami sampai di desa tujuan. Kami berkumpul di depan sebuah rumah berdinding beton, yang menurut saya lumayan bagus untuk ukuran rumah yang terletak di desa. Sambil menunggu peserta lain yang belum datang, kami duduk-duduk dulu, sambil melepas lelah.
Di sekitar halaman rumah yang agak luas tersebut tidak terdapat rumput sama sekali, apalagi sampah. Terdapat tanaman hias, namun tidak terlalu banyak. Saya perhatikan rumah-rumah di sekitarnya, kebanyakan kondisinya juga tak jauh berbeda dengan rumah tesebut.
Belakangan saya tahu, ternyata itu rumah pak Abdul Mu’in, beliau adalah ketua RT. Rumah tersebutlah yang akan menjadi tempat bermalam untuk kelompok satu.
Beberapa detik berikutnya, Ambar menerima telfon dari pak Yus. Dari percakapan yang saya dengar, saya bisa menangkap bahwa ternyata pak Yus, Ismi dan Indasah tertinggal rombongan. Agak nyasar. Mereka bingung mau ke mana. Ambar segera memberikan informasi mengenai jalan yang harus mereka tuju. Tal lama pak Ibrahim pun segera menyusul mereka.

Saya, Rizki Muhardini atau Dini, serta Erika memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak sambil menunggu kedatangan pak Yus dan yang lainnya. Toh, saya yakin, mereka tidak akan mungkin nyasar jauh.
Kami bertiga lantas duduk di tepian gertak (jembatan kecil). Sambil menikmati suasana desa yang begitu tenang, jauh dari polusi, dikelilingi oleh pohon kayu yang diiringi suara kicau burung. Benar-benar menenangkan.

”Kak, dulu tuh, Rika sempat bingung ngeliat bangunan seperti itu. Rika kira rumah orang. Tapi kok rumah nggak ada jendelanya, kan pengap. Eh tak tahunya kate bapak, ternyata itu sarang burung walet” ujar Erika sambil menunjuk ke arah sebuah bangunan tinggi, mirip rumah dari beton, di depan kami.
Saya dan Dini pun lantas menoleh ke arah bangunan yang Rika maksud tersebut. Kami berdua mengangguk dan terdiam beberapa saat lamanya.

”Oo.... bangunan itu sarang walet??? Baru tahu tuh.... hehehe..... ” ujar saye beberapa menit kemudian.

”Iye kak, Dini pun baru gak tahu tuh... Dini sering liat bangunan seperti itu, kirain rumah” kate Dini kemudian, sambil nyengir. Dini adalah mahasiswa Tarbiyah, PAI, semester delapan.

”Haah.... dari tadi kakak bedua ne diam-diam jak, ternyate belom tahu.... ya ampuuun.... Rika kire tadi tahu. Buat muke tak bedose pula’ tuh.... hahaha.......” cecar Erika, sambil melempari kami pake rumput.

”Hehe...... tadi rencanenye maok diam-diam jak, sok tahu.... kan malu ngaku tak tahu..... ” ujar saya sambil menoleh ke arah Dini.

”Dini kira tadi tu, Kak Icha memang udah tahu, makanye Dini diam jak. Kalo’ kakak ndak ngaku tadi tu, Dini pun maok diam juga.... hehehe.....” ujar Dini sambil terkekeh.

”Kakak bedua ne emang lah ye... ” ujar Erika, lantas ia memukuli saya, saking gemasnya. Detik berikutnya kami bertiga pun tertawa bersama.

Tak lama. Bang Tino menyusul. Seperti Dini, bang Tino juga kuliah di jurusan Tarbiyah. Tino Amindani nama lengkapnya, terkenal dengan kegokilannya. Siapapun yang dekat dengannya, pasti akan tertawa terus mendengar ocehannya yang cuek, nyeleneh dan spontanitas. Dini dan bang Tino satu kelompok, yakni di kelompok dua. Dengan menenteng buku dan pena, ia lantas menghampiri kami.

”Ce ilee.... gaye bang Tino tuh... serius amat, udah kaya’ wartawan jak.....” saya menggodanya. Kami memang sering bergurau. Tanpa memperdulikan perkataan saya barusan, bang Tino masih tetap asyik mencatat sesuatu_ entah apa, di buku kecilnya tersebut. Lalu mendekat ke arah saya dan Dini. Erika duduk di seberang kami.

”Eh bu... utang kredit baju, masih 250 ribu ye.... bayar cepat!” ujar bang Tino kemudian, masih dengan wajah yang serius dan acuh-tak acuh. Benar-benar terkesan seperti tukang kredit yang lagi nagih hutang.
Kami kembali tertawa bersama. Dari jauh, saya melihat rombongan yang tadinya nyasar yakni Pak Yus, Ismi, Indah, kak Martina, kak Ningdwi, kak Irma, bang Maududi, pak Ibrahim dan pak Ismail Ruslan (pak Ganteng) datang. Kamipun segera kembali ke tempat semula, dan siap berpetualang lagi. Benar-benar hari yang indah.
Read More......

07 March 2009

Petualangan Dengan Kuda Besi





“Kak kita berangkatnye jam berape?” tanya Erika pada saya.
Hari itu, kami memang berencana berkunjung ke rumah teman kami yang berlokasi di Kecamatan Jawai.
”Bentar lagi, pokoknye kalo’ kite udah selesai bekemas, kite langsung pegi deh” jawab saya.


Erika tampak tidak sabar untuk melakukan perjalanan ini. Selama beberapa hari dia berada di rumah, baru satu kali saya mengajaknya jalan-jalan, itupun hanya sebentar, yakni ke Semparuk membeli baterai kamera. Kondisi jalan, membuat saya enggan pergi ke mana-mana.
”Tapi Rika siap-siap ye, karena kita bakal berpetualang dengan kuda besi lagi neh.... dan kayanye, medan yang bakal kite lalui kali ini lebih berat deh”
Kuda besi, adalah sebutan kami untuk sepeda motor. Disebut begitu karena kondisi jalan yang rusak berlubang dan berdebu membuat setiap orang yang mengendarai sepeda motor serasa naik kuda. Walaupun seumur hidup, saya sama sekali belum pernah naik kuda, tapi ya... mungkin kurang lebih begitulah rasanya.

Pukul 08.25, akhirnya kami berangkat. Dengan mengendarai Yamaha Vega R yang kondisisnya sudah agak tua, kami siap berpetualang.
Matahari sudah mulai sedikit menyengat. Hari itu kami beruntung, karena cuaca sangat cerah, sebab jika hari hujan, maka medan yang kami tempuh akan semakin berat. Jalan akan menjadi becek dan licin, karena sisa aspal jalan hampir tidak ada sama sekali, dan sekarang yang tersisa hanya tumpukan batu-batu, itupun hanya sedikit.
Sebenarnya jalan di daerah kami baru diaspal sekitar 3 tahun yang lalu. Mungkin dikarenakan pondasi jalan yang kurang kuat, sehingga ia tidak mampu menanggung beban berat kendaraan roda empat yang dulu sering kaluar masuk untuk mengangkut hasil panen jeruk petani serta hasil-hasil kebun yang lainnya.
Saya masih ingat, dulu pada awal-awal jalan tersebut dibangun, warga sangat-sangat dimudahkan untuk mengangkut hasil kebunnya ke pasar. Namun sekarang, masyarakt di sana kambali beralih ke jalur air, yah...walaupun biaya dan waktu yang dikeluarkan sedikit mahal, apa boleh buat, mereka tidak ada pilihan lain.
”Kak, ape jalannye tak pernah di perbaiki ke?” kembali Erika mengajukan pertanyaan.
”Setahu kakak si, dari sejak diaspal dulu, memang tidak ada upaya perbaikan sama sekali. Kondisinyanya ya... seperti inilah... mungkin tidak ada dana kali?” ujar saya sok tahu. Karena memang saya sendiri kurang tahu, apa penyebab, sehingga hal ini sepertinya dibiarkan begitu saja.
”Kalau di tempat Rika si Kak, jalannya bagus banget. Tiap tahun ada perbaikan jalan” katnya lagi.
Entahlah rika.... kakak juga ndak tahu. Kenapa di sini jalannya tak pernah diperbaiki, mungkin aja karena tak ada yang membanggakan dari daerah kakak kali, makanya tak diperhatikan” kata saya akhirnya.
Dalam perjalanan, kami terus saja ngobrol. Satu-satu desa yang kami lintasi saya perkenalkan dengan Erika, maklum dia baru pertama kali datang ke Sambas. Dia banyak diam, dan sesekali bergumam.
Sampai di kota Tebas, saya memilih jalur yang menuju ke SMU N I Tebas, tempat saya menuntut ilmu dulu. Sudah lama sekali saya tidak mengunjungi sekolah tersebut. Terakhir sekali ke sana saat legalisir ijazah untuk mendaftar di STAIN, dan itu berarti kurang lebih dua tahun yang lalu.
Tak banyak perubahan berarti yang terjadi di sana. Walaupun kami tidak sampai masuk ke area sekolah, tapi dari depan saya masih bisa melihat kondisi bangunannya. Gedungnya masih gedung yang sama. Catnya pun sama sekali tidak berubah, cat warna kuning yang sudah tua. Padahal, saya meninggalkan sekolah ini sudah 7 tahun lamanya. Ini salah satu hal yang membuktikn bahwa pembangunan di Kota kecil seperti kota Tebas ini, berjalan sangat lamban. Beda dengan jika berada di kota besar, Pontianak misalnya, jangankan 7 tahun, tujuh bulan saja kita tidak ke sana, mungkin kita akan tercengang, karena perubahan-perubhaan yang kita dapati di sana.
”Rika, cobe liat pohon jambu itu tu... tau nggak, dulu waktu kakak sekolah, pohon itulah yang sering kakak panjatin sama kawan-kawan pas jam istirhat. Padahal, waktu itu kakak udah pake jilbab lho rika. Kakak tak mau kalah ma yang cowok. Soalnye kalau cume di bawah, bise-bise tak kebagian buah jambunye” kenang saya
Erika hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala mendengar cerita saya tersebut.
Perjalanan kami lanjutkan, sebenarnya saya ingin sekali berlama-lama di situ, tapi waktu tidak mengizinkan, karena perjalanan yang bakal kami tempuh masih jauh.

Akhirnya kami sampai di desa Perigi Piay. Desa tersebut terletak di tepian sungai, dan untuk sampai di kecamatan Jawai, kami harus menyeberangi sungai tersebut. Untuk menyeberang, ada dua aternatif angkutan yang bisa dipilih, yakni kapal penyeberangan atau Fery (di sana disebut pelampung), atau naik motor air biasa. Walaupun biayanya sedikit mahal, kami lebih memilih alternatif yang kedua. Petimbangan waktulah yang membuat saya memutuskan hal itu. Karena untuk naik Fery, kami harus menunggu lagi, paling tidak sekitar 15 sampai 20 menit ke depan, baru bisa sampai. Biaya naik motor air ini Rp 6000, untuk dua orang plus satu buah motor. Namun jika musim lebaran, biasanya biayanya akan naik menjadi Rp 7000 sampai Rp. 10.000 Itu saat jam kerja, jika malam hari, maka biayanya akan lebih mahal lagi.
”Kak, tak pape ke ni? Perahunye kecil bener, takut Rika kak” kata Erika, dia tampak gugup.
”Ndak pape be Rika, tenang jak, tak ade gelombang be... dan kalopun karam, Rika kan bise berenang. Yang kasian tu motor kite tu... walalupun die bebek, tapi die tak bise berenang, hehehe....” kate saya mencoba bercanda, agar dia tidak terlalu tegang.
”Eh... Rika kan lahirnye di atas sungai kapuas kan? Di dalam motor kaya gini juga kan? Jadi buat ape takot” kata saya lagi. Mendengar hal itu, Erika lantas tertawa.

Tak lebih dari lima menit, kami pun sampai di seberang.
Saya pun kembali memacu kandaraan bermotor kami. Agak ngebut, karena kondisi jalan sepi, dan kami memang dikejar waktu. Kami melintasi kecamatan Tekarang. Kecamatan tersebut merupakan kecamatan termuda yang memekarkan diri setelah Semparuk. Dulu Tekarang masuk dalam wilayah kecamatan Tebas.
Kami melalui desa Rambayan. Jalan di sana, jauh lebih baik dibandingkan jalan-jalan yang telah kami lewati tadi. Kenyataan ini membuat saya lega. Karena itu berarti, waktu tempuh kami bisa dipersingkat. Jalan di sini benyak mengalami kemajuan, dibanding satu tahun yang lalu.
Satu demi satu desa kami lalui, tak jauh berbeda dengan jalan menuju desa saya, sepanjang jalan yang kami lewati merupakan hamparan sawah menguning yang siap panen, serta perkebunan jeruk milik warga. Fikiran benar-benar tenang dibuatnya. Saya merasa tersegarkan kembali, setelah berbulan-bulan lamanya berada di kota Pontianak dan setiap hari harus menghirup udara yang telah terkontaminasi oleh asap-asap kendraan serta asap yang berasal dari pabrik-pabrik.
Kami tak henti bergurau. Sesekali saya menggoda Erika. Dan kami benar-benar bisa tertawa lepas. ”Mumpung sepi” kata saya pada Erika.

20 menit berikutnya, akhirnya kami sampai di kota Jawai. Saya tidak terlalu asing dengan kota ini. Waktu masih SMA dulu, saya sering ke sana, ikut kegiatan Pramuka. Seperti halnya dengan kota Tebas, kota Jawai pun, tidak terlalu banyak mengalami perubahan yang berarti dibanding 8 tahun yang lalu. Geliat pembangunan di sana juga sepertinya tidak berjalan cepat. Bangunannya, jalan-jalannya, sepertinya masih seperti yang dulu saja.
Melalui petunjuk warga setempat yang kami tanyai, sekitar 10 menit berikutnya, kamipun tiba di rumah teman kami. Namanya Nani Purbasari. Rupanya dia telah menunggu kedatangan kami sejak pagi, dan mempersiapkan es kopyor untuk kami.
”Alhamdulillah, panas-panas gini di kasih es kopyor... hmmm segeeer” kata Erika lantas meneguk es yang terbuat dari agar-agar dan kelapa muda itu. Saya pun melakukan hal yang sama.
Kami berbincang-bincang sejenak, sambil menghilangkan capek. Setelah itu, dengan diantar Nani, kami langsung melanjutkan perjalanan ke rumah teman kami yang lain yakni Halim.
”Kak, kalla’ baharian (makan siang) di rumah ku ii... kame’ udah berapi gammok (masak banyak), aku udah nunggu to’e. Dari jam 2 suboh tade’...” bunyi SMS dari Halim, sesaat sebelum kami berangkat tadi. Dan saya pun menyatakan kesediaan untuk numpang makan siang di sana.
Rumah Nani dan Halim berjarak sekitar 1500 KM. Dan kami lagi-lagi naik kuda besi. Karena jalan menuju rumah Halim, ternyata tidak jauh berbeda dengan jalan desa kami, berbatu, berlubang, dan berdebu.
”Kak, nanti kite lewat tugu berdarah” kate nani memberi informasi.
”Tugu berdarah itu ape kak?” tanya Erika dengan nada bingung.
”Tugu bedarah tu Rika, adalah tugu di mana dulu mayat-mayat korban kerusuhan Sambas dikumpulkan. Kejadiannye tu, pas hari lebaran. Makanya di tugu tersebut ada ketupat yang berdarah. Jadi boleh dikatekan, dari desa Halim inilah awal mula terjadi pecah perang itu” kata saya singkat. Saya tahu informasi itu dari Halim sendiri. Namun saya tidak tahu banyak, dan hanya mendengar sekilas saja. Waktu itu saya tidak terlalu tertarik untuk membicarakan hal itu lebih dalam. Erika tampak memahami hal itu, lantas ia mengangguk. Entah faham, atau malah bingung. Saya juga tidak tahu.
Di rumah Halim, kami telah ditunggu oleh adik perempuan dan ibunya Halim. Kami diperlakukan seperti tamu agung yang sangat diistimewakan. Kami ngobrol dengan akrab.
Selang satu jam berikutnya, Hadi dan Martopan, sahabat kami yang lainnya datang. Mereka berdua satu kampung dengan Nani, yakni di Sei Nyirih, sedangkan kampung Halim di Parit Setia.
”Kak, kite ke pantai Jawai yuk... mumpung kakak dan rika di sini, jadi sekalian lah kite ke sana” Hadi mengusulkan.
”Iye boleh, kakak pun sama sekali belum pernah ke sana” kata saya kemudian, yang disambut anggukan Erika dan yang lainnya.

Setelah makan siang, kamipun langsung berangkat ke lokasi yang dimaksud.
”Jauh ndak ni Pan? Terus, jalannye jelek ndak” kata Erika.
”Ya.... lumayanlah, sekitar satu jam gitu lah. Jalannye pun lumayan bagus kok.... ” jawab Topan.
Di jalan, kami saling bersaing memacu kendaraan. Seperti halnya jalan di kecamatan Tekarang tadi, jalan menuju pantai Jawai pun terbilang sepi. Kiri-kanan, hanya terdapat pohon kelapa yang menjulang. Jawai memang identik dengan hasil kelapanya. Mungkin karena kecamatan tersebut berada di tepian pantai kali....
Jalan yang kami lewati mulus-mulus saja, sampai pada persimpangan jalan menuju ke Pantai. Ternyata medan yang bakal kami lalui jauh lebih parah ketimbang jalan desa saya. Di sepanjang jalan, hanya terdapat batu-batu besar seukuran buah kelapa yang letaknya tidak beraturan. Sepertinya, jalan ini akan diaspal, dan sekarang kami datang di waktu yang kurang tepat, karena proses pengaspalan itu, baru sampai pada penyusunan batu yang akan dijadikan pondasi jalan tersebut sebelum diaspal.
Saya hanya bisa terdiam menyaksikan ”pemandangan indah” di depan saya. Saya tak mampu berkata apa-apa. Beberapa kali saya hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Berharaf dengan begitu, batu tersebut berubah jadi mengecil...
Erika histeris, dan hanya bisa melakukan hal yang sama. Pasrah. Karena untuk mundur, tanggung. Kami udah menempuh jarak yang tidak dekat untuk sampai ke sini. Selangkah lagi, kami akan segera sampai di tempat yang kami impikan.
Dengan mengerahkan semua tenaga dan kemampuan, saya terus memacu kendaraan. Sesekali terdengar benturan batu-batu tersebut mengantam mesin. Bunyi motor sudah tidak karu-karuan. Saya hanya berharaf, semoga saja motor tua ini mampu bertahan menghadapi cobaan berat yang sedang ditanggungnya. Karena jika mogok, maka tamatlah riwayat untuk bersenang-senang.
Kami terus berjuang, keringat bercucuran, tangan kanan saya sampai kesemutan. Belum lagi cuaca panas yang menyergap. Ya Rabb.... kuatkan hamba-Mu...

Setengah jam berikutnya, akhirnya kami sampai ke tempat yang kami tuju. Di depan kami terdampar sebuah karpet biru yang sangat luas. Lautan. Subhanallah. Betapa sempurnanya ciptaan-Nya.
Seketika itu pula semua keletihan, keluh kesah, dan sakit tadi hilang lenyap.
Kami terus menyusuri tepian pantai tersebut. Dan kami berteriak sekuat-kuatnya seperti orang yang baru bebas dari beban berat.
”Kak, jangan nak nak jadi gile ye.... gawat neh, calon mak mertue jadi gile” gurau Topan. Tapi saya tidak peduli.
Setelah puas berjalan, kami semua duduk di atas batu, sambil menikmati cemilan ala kadarnya, sambil bergurau.
Hadi dan temannya lantas naik ke atas batu yang lebih tinggi. Melihat itu, saya tidak mau ketinggalan, saya pun segera menyusul mereka.
”Macam mane nak naik ni Di? Tadi Hadi lewat mane?”
”Mane bise kakak manjat, tinggi ni, sapa suruh juga, pake rok?” jawab Hadi.
”Eh, jangan salah, kakak bise kok. Lagian kakak juga pake celana tau... ” saya membela diri.
Tak butuh waktu lama, saya pun bisa naik ke atas batu yang sama. Tak lama Erika dan Martopan juga ikut menyusul. Cuma Halim dan Nani saja yang tetap asyik main air.
Karena waktu yang sudah semakin sore, kami memutuskan untuk segera pulang. Takut kamalaman. Hadi dan Martopan menawarkan kami pulang setelah magrib. ”Kite liat sunset dulu kak, ntar kame’ antar lah sampai ke pelampung”. Ujar mereka. Namun kami tetap ngotot pulang. Suatu saat nanti, pasti kami akan kembali datang ke sini. Kami segera bersiap-siap untuk kembali berpetualang dengan kuda besi.
Read More......

06 March 2009

PERJALANAN PULANG KAMPUNG





Liburan akhir semester, saya bersama Erika, lengkapnya Erika Sulistia Maidaningsih,. Saya lebih senang memanggilnya dengan Rika saja. Dia adalah salah satu sahabat baik saya. Kami satu kelas, yakni di jurusan Dakwah Prodi BPI, STAIN Pontianak. Erika berasal dari Kapuas Hulu, tepatnya di Nanga Silat. Liburan semester kali ini, dia memilih tidak pulang kampung, karena ingin ikut ke kampung halaman saya di kecamatan Tebas. ”Pengen ngerasa metik jeruk langsung dari pohonnya” katanya memberi alasan. Rencananya, kami akan berangkat pukul 02.00 pagi, agak kepagian memang, tapi perjalannya nanti akan lebih ringan, karena bisa tidur puas di dalam bis.


Biasanya, jika berangkatnya siang, di jalan akan lebih berat, selain panas juga berdebu, dan hal itu bisa menyebabkan mabok di jalan. Bicara soal mabok, saya jadi ingat dengan salah satu sahabat saya yang lain, dia paling tidak tahan naik bis umum, karena tiap kali pulang kampung, dia pasti mabok. Sebenarnya liburan ini, dia juga berencana ikut, tapi akhirnya batal, karena ”takut” naik bis. Saya sebenarnya kasian dengan kondisinya yang seperti itu, pasti sangat berat. Tapi saya senang sekali menganggunya.

Sejak jam 01.30, kami sudah bersiap-siap, selain takut ketinggalan bis, selain itu juga kami tidak ingin membuat penumpang yang lain menunggu lama, karena saya tahu, banyak orang, termasuk saya sendiri paling benci dengan yang namanya menunggu, jadi daripada nanti kami tergesa-gesa, lebih baik kami bersiap lebih awal.

Sebelumnya, kami memang sudah memesan kursi terlebih dahulu melalui telpon, supaya nanti tidak repot lagi menunggu bis di tepi jalan, yang kadang juga sudah sesak, apalagi besoknya ada acara Cap Go Meh di Singkawang, jadi sudah bisa dipastikan bis-bis umum banyak yang penuh.

Sopir bis yang kami pesan mengatakan, jika mereka sudah berangkat, maka merekalah yang akan menghubungi kami lewat telfon. Namun, setelah jam 02.10, mereka tak jua kunjung menghubungi kami, Along (panggilan untuk anak pertama dalam bahasa Melayu) berinisiatif untuk menghubungi mereka.
Saya perhatikan ekspresi wajah abang tertua saya tersebut, dia nampak sangat bersemangat, bahkan semalaman itu, dia sama sekali belum tidur, takut tidak terbangun, karena jika sudah tidur, maka dia sangat susah terbangun.

”Ape pak De, bis pak De ndak jalan pagi ne?”
”O gitu.... ya udahlah, boleh minta nomor hape sopir atau kernetnye pak De? O... iya, makasih ya pak De.. Assalamualaikum.”

Begitulah sekilas pembicaraan antara Along dengan sopir bis yang dipanggil dengan panggilan pak De tersebut. Dari pembicaraan tadi, saya bisa menangkap, bahwa bis yang kami pesan ternyata tidak beroperasi pagi ini, entah apa penyebabnya, jadi kami dialihkan ke bis yang lain.

Saya jadi terfikir, ini salah satu bukti ketidakprofesionalan mereka, masa’ si, mereka mengalihkan kami ke bis yang lain tanpa konfirmasi terlebih dahulu. Syukur tadi Along nelfon, jika tidak.... tapi ya udahlah, saya fikir juga tidak ada bedanyalah, yang penting kan kami kebagian kursi.

Tak lama, terdengar Along juga menghubungi nomor yang diberikan oleh pak De, dan mereka menginfomasikan bahwa saat itu, mereka masih di Sei Raya, dan sedang menjemput penumpang yang lain.

Bis-bis yang menuju ke Sambas memang tidak memberlakukan sistem tiket, sebagaimana bis umum yang menuju ke daerah lainnya seperti ke Entikong, Sintang, Kapuas Hulu dan lain-lain, biasanya penumpang hanya tinggal menunggu di tepi jalan saja. Cara tersebut memang lebih praktis, tapi kelemahannya jika bis yang ditunggu sudah penuh, maka penumpang tidak punya pilihan lain, duduk di bangku serap atau bahkan berdiri, jika tidak ingin menunggu kadatangan bis selanjutnya. Namun, ada beberapa bis juga memberlakukan sistem pesan kursi. Biasanya jika penumpang yang sudah memesan kursi, maka bis yang bersangkutan akan menjemputnya.

Jam 03.10, kernet bis kedua, akhirnya menelefon, mereka bilang, sudah berada di depan jalan Ya M Sabran, jalan menuju nrumah saya. Kamipun segera turun dan menunggu di tepi jalan. Dua menit berikutnya, bis yang kami tunggu-tunggupun datang. Dari luar saya lihat, bis tersebut tampak penuh oleh penumpang. Sebelumnya saya sudah mewanti-wanti Along, seandainya kami diberikan kursi yang letaknya terpisah, maka along harus ngotot minta ditukar. Karena saya fikir, jika kami berdua dipisahkan duduknya dalam perjalanan, tidak seru, apalagi Erika kan baru pertama kali ke Sambas, jadi banyak tempat yang akan saya kabarkan ke dia.

Akan tetapi, kenyataan yang kami terima setelah kami naik bis yang sudah agak tua tersebut, tidak lebih baik dari yang saya bayangkan. Kami ternyata disisakan bangku serap_ kursi yang letaknya di antara kursi yang lain, dan tanpa sandaran. Saya tak sempat memperhatikan ekspresi Along, tapi saya yakin dia sangat kecewa dengan keadaan seperti itu. Saya terfokus pada kursi ”empuk” yang sudah dipersiapkan untuk kami duduki selama kurang lebih 5 sampai 6 jam ke depan.

Akhirnya karena tidak ada pilihan lain, dengan pasrah, kamipun duduk di situ. Sekilas saya melirik ke arah Erika, sekilas saya lihat mimik wajahnya terlihat kecewa, walaupun dia berusaha menyembunyikannya, tapi saya bisa menangkap itu.

Saya benar-benar kecewa dengan kondisi seperti ini, kekecewaan tersebut menumpuk, pertama karena kami dialihkan ke bis yang kedua ini tanpa dikonfirmasi terlebih dahulu, terus, kami dibiarkan menunggu satu jam lebih hanya untuk duduk di kursi serap. Perasaan kecewa tersebut bercampur dengan perasaan tidak enak hati pada Erika, pengalaman pertamanya ke Sambas, harus mengalami kondisi yang tidak mengenakkan. Kasian dia. Dengan keadaan yang seperti ini, mana bisa dia istirahat, apalagi malamnya, kami memang tidak tidak tidur tenang, kami sedikit lembur, sebab harus menyelesaikan tugas mendadak, yang diberikan oleh salah satu dosen kami, dan harus diberikan pada beliau pagi hari itu juga.
Terlintas dalam benak saya, syukur saya dan Erika berasal dari negara yang sama, seandainya dia berasal dari luar negeri, pasti hal ini akan menjadi salah satu kesan buruk yang akan ia ingat tentang negara Indonesia ini, yakni tentang ketidakprofesionalan dan budaya jam karet orang-orangnya.

Saya mengeluarkan hape dari tas, ternyata ada 6 kali panggilan tak terjawab dan satu SMS dari Along.
”Masih duduk di kursi serap ke Sa? Bile perlu, minta turun jak sekarang di t4 yang terang dan ramai, drpd kalian ndak dpt istrht. BIS INI TAK JUJUR NIH... kecewa along!” Sender AlongQ. +628524597**** dikirim 08 Feb 2009, 03:57:58.

Begitulah bunyi SMS Along. Tersenyum saya membaca SMS tersebut. Ternyata dugaan saya benar, Along adalah orang yang paling kecewa dengan kondisi ini. Lalu saya balas, dan mengatakan bahwa kami masih duduk di situ, tapi kami akan mencoba menikmati perjalanan ini. Saya memang sengaja berkata seperti itu, supaya along tidak semakin merasa bersalah, karena walau bagaimana sekalipun, dia sudah berusaha, dan saya harus bisa menghargai itu. Apalagi, jika untuk untuk turun di tengah jalan subuh-subuh, saya tidak berani mengambil risiko, dan lagian belum tentu juga kami bisa mendapatkan yang lebih baik dari sekarang, takutnya malah nanti lebih buruk, karena kami tidak bisa mensyukuri yang sedikit ini.

Belakangan saya tahu, ternyata selain SMS pada saya, Along juga menghubungi kernet bis, bahkan pak De pun, menjadi lampiasan kekecewaan Along terhadap kerja mereka. Bahkan katanya, Along mengatakan, bahwa ini adalah kali terakhir kami naik bis pertama dan kedua ini. Saya baru ngeh, pantesan, saya lihat beberapa kali kernet bis tersebut melirik ke arah kami dengan pandangan yang gimana gitu......

Saya benar-benar berusah menikmati keadaan waktu itu. Daru saku rok, saya mengeluarkan MP3, lalu mendengar musik dari sebuah kotak yang berukuran mini tersebut.

Pukul 05.58, bis kami berhenti di Singkawang, saya dan Erika buru-buru turun dan menuju toilet dan berwudhu di sana, lalu shalat shubuh di mushalla yang disediakan di sana. Agak telat memang, tapi msu bagaimana lagi, situasi tidak memungkinkan untuk kami shalat di dalam bis.

Usai shalat kami kembali ke bis. Ambil foto. Saya bilang ke Erika, bahwa tempat kami berhenti sekarang ini adalah Pasir Panjang_yakni tempat rekreasi yang lumayan digemari oleh masyarakat sini. Iseng saya menggoda dia, ”Gimana klo kita ke Pasir Panjang aja... kite tinggalkan jak bis ini, kite kabur yuk” Erika hanya tertawa mendengar itu.
Tak lama, kernet bis menghampiri kami. Dengan wajah yang terlihat sangat menyesal, dia mengatakan permintaan maaf. Lalu mengungkapkan penyebab dari semua kejadian ini. Ternyata bis pak De tidak beroperasi karena istrinya lagi melahirkan. Saat pak De mengatakan bahwa ada yang pesan kursi, dia tidak mengatakan bahwa yang pesan kursi adalah perempuan. ”Kirain laki-laki, kalau kame’ tau perempuan yang pesan, pasti kami kasih kursi be... ”. Katanya. Kami hanya tersenyum mendengar penuturan laki-laki setengah baya tersebut. Dari tampilan fisiknya, saya bisa memastikan bahwa ia seorang Tionghoa, apalagi logatnya juga tak bisa disembunyikan. Dalam hati saya berkata ”Emang apa bedanya, laki-laki atau perempuan, kan sama-sama penumpang, yang haknya tidak boleh diabaikan. Walau omongannya tadi tidak bisa mengubah apa-apa, tapi saya sangat menghargai itikad dia untuk meminta maaf pada kami. Karena untuk saat ini, orang yang mau meminta maaf setelah berbuat salah, sangat susah ditemukan.
Read More......

Chat with Me

TENTANG SAYA

My Photo
MARISA SYAKIRIN
SILATRAHMI MEMBUAT KITA BISA HIDUP DIMANAPUN DAN KAPANPUN
View my complete profile

OBROLAN KITA